Hari itu, langit mendung menggantung di atas
kota. Nafisah duduk di ruang kerjanya, memandang tetesan hujan di jendela. Ada
sesuatu yang menggantung di pikirannya sejak Raka memberi tahu bahwa ia akan
pergi ke Bali. Selama beberapa hari terakhir, mereka hampir tidak saling
bertukar pesan. Nafisah tahu, bukan karena Raka tak peduli, melainkan karena ia
sendiri yang selalu ragu untuk memulai.
Tapi hari ini, Nafisah merasa berbeda. Ada
sesuatu yang mengusik hatinya. Mungkin karena dia mulai menyadari bahwa
kehadiran Raka, meskipun jarang terlihat, selalu terasa. Dari cara Raka
mendengarkan tanpa menghakimi, hingga pesan-pesan singkat yang selalu penuh
perhatian.
Dia mengambil ponselnya, mengetik sebuah pesan,
lalu menghapusnya. Nafisah tersenyum tipis pada dirinya sendiri. "Kenapa
selalu sulit untuk memulai?" gumamnya. Dia akhirnya memberanikan diri
untuk menulis sesuatu yang sederhana.
"Gimana Bali? Capek nggak, Kak?"
Pesan terkirim. Nafisah memegang ponselnya
erat-erat, seperti menunggu sesuatu yang besar terjadi. Tapi dia tahu, mungkin
Raka sedang sibuk dan takkan langsung membalas.
Namun, hanya beberapa menit kemudian, ponselnya
berbunyi. Balasan dari Raka:
"Capek sedikit, tapi seru. Aku lagi ingat kamu, Naf."
Hati Nafisah berdebar. Dia tahu Raka jarang
berkata langsung seperti itu. Selama ini, Nafisah merasa Raka selalu menjaga
jarak, mungkin takut menyinggung perasaannya yang masih rapuh. Tapi kini, ada
sesuatu dalam pesan itu yang terasa lebih jujur, lebih dekat.
Sejak hari itu, komunikasi mereka kembali
mengalir, seperti sungai kecil yang perlahan menemukan jalannya. Raka bercerita
tentang pekerjaannya di Bali, sementara Nafisah berbagi cerita tentang
murid-muridnya di kampus. Percakapan mereka tidak lagi terasa kaku atau searah.
Suatu malam, setelah selesai berbincang, Nafisah
membuka laci mejanya. Di dalamnya, ada sebuah buku harian yang sudah lama tidak
disentuhnya. Dia membuka halaman pertama, yang berisi coretan tentang mendiang
saudaranya. Air matanya menggenang, tapi dia tersenyum.
"Aku rasa, aku mulai siap."
Keesokan harinya, Raka pulang dari Bali. Nafisah
memberanikan diri mengajaknya bertemu. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil,
tempat yang sederhana namun nyaman. Untuk pertama kalinya, Nafisah berbicara
dengan terbuka.
"Aku dulu takut membuka diri, karena aku
pikir aku belum pantas. Tapi kamu... selalu sabar, selalu ada, meskipun aku sering
mengabaikanmu," ucap Nafisah dengan suara pelan namun mantap.
Raka tersenyum, mata hangatnya menatap Nafisah
dengan lembut. "Aku tidak pernah menuntut apa-apa, Naf. Aku hanya ingin
kamu tahu, aku ada di sini. Dan aku akan selalu ada, jika kamu mengizinkan."
Hujan turun deras di luar, tapi bagi mereka,
dunia terasa hangat. Nafisah tahu, ini adalah langkah kecil, tapi juga langkah
yang paling berarti dalam hidupnya.
Di balik kaca jendela kafe, hujan yang turun
seperti menjadi saksi dua hati yang akhirnya menemukan jalan untuk saling
memahami.