Pesan itu datang tanpa peringatan, sederhana,
namun cukup untuk menarik perhatian Raka.
"Halo, Kak Raka. Saya Nafisah, dosen di
kampus tempat acara kemarin. Terima kasih sudah menjadi pemateri. Saya sangat
terinspirasi dengan materi yang Kakak sampaikan."
Raka menatap layar ponselnya. Nama itu terasa
asing, tapi ada sesuatu dalam cara pesannya disusun yang membuatnya tersenyum
kecil. Ia membalas dengan santai, "Halo, Nafisah. Terima kasih sudah
menyimak. Saya senang kalau materi saya bisa bermanfaat."
Sejak pesan pertama itu, percakapan mereka mulai
berjalan. Awalnya, obrolan mereka masih sebatas formalitas—tentang pekerjaan,
pendidikan, dan acara kampus. Namun, perlahan, pembicaraan mereka mulai keluar
dari batas-batas profesional. Nafisah bercerita tentang kelas yang dia ampu,
murid-murid yang kadang lucu, kadang menjengkelkan. Raka berbagi kisah tentang
proyek yang sedang ia kerjakan dan perjalanan-perjalanan yang ia lakukan.
"Kak, pernah nggak sih ngerasa murid itu
kayak cermin diri sendiri? Kadang mereka itu kayak aku pas kuliah dulu, bandel
dan sering ngeluh."
"Iya, Naf. Tapi kalau cermin kita buram, mungkin karena kita juga
belum selesai belajar. Aku juga ngerasa gitu ke kolega."
Obrolan mereka mengalir seperti aliran air,
santai namun penuh makna. Raka mulai merasa bahwa Nafisah adalah sosok yang
lebih dari sekadar rekan kerja. Dia cerdas, bijaksana, dan memiliki cara
pandang yang unik. Tapi di balik kehangatannya, Raka juga merasakan sesuatu
yang tersembunyi. Nafisah sering menghindar ketika pembicaraan mulai mengarah
ke kehidupan pribadinya.
Suatu hari, Nafisah tiba-tiba mengirimkan pesan
yang berbeda dari biasanya.
"Kak, pernah nggak merasa ingin sekali membuat orang yang kita sayang
bangga, tapi nggak sempat?"
Raka terdiam beberapa saat sebelum menjawab.
"Pernah, Naf. Kadang rencana kita nggak berjalan sesuai harapan. Tapi
mungkin mereka sudah bangga, bahkan tanpa kita menyadarinya."
Pesan itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih
dalam. Nafisah mulai terbuka sedikit demi sedikit, menceritakan tentang
kehilangan besar yang baru saja ia alami—kepergian kekasihnya, yang selalu
menjadi teladan dan sumber kekuatannya.
Raka mendengarkan dengan sabar, tanpa memaksa. Ia
tahu bahwa luka seperti itu butuh waktu untuk sembuh. Dia hanya ingin menjadi
seseorang yang bisa diandalkan, tanpa menuntut lebih.
Setiap malam, Raka menunggu pesan dari Nafisah,
meski tahu ia mungkin tidak akan selalu memulai. Dan setiap kali ponselnya
berbunyi, ia merasa ada kebahagiaan kecil yang menyusup di sela kesibukannya.
Bagi Nafisah, Raka adalah seseorang yang berbeda.
Ia tak pernah memaksa, tak pernah menghakimi. Di tengah segala kebingungan dan
luka yang masih ia rasakan, kehadiran Raka terasa seperti rumah kecil yang
nyaman—tempat ia bisa beristirahat sejenak dari dunia yang terus berjalan.
Mereka mungkin belum tahu ke mana arah hubungan
ini. Tapi satu hal yang pasti, pertemuan pertama mereka di layar kecil itu
telah membuka pintu menuju perjalanan yang lebih besar.