Menurut Sarasin bersaudara, penduduk asli
Kepulauan Indonesia adalah ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Mereka
mulanya tinggal di Asia bagian tenggara. Ketika zaman es mencair dan air laut
naik hingga terbentuk Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sehingga memisahkan
pegunungan vulkanik Kepulauan Indonesia dari daratan utama. Beberapa penduduk
asli Kepulauan Indonesia tersisa dan menetap di daerah-daerah pedalaman,
sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk pendatang. Penduduk asli itu
disebut sebagai suku bangsa Vedda oleh Sarasin. Ras yang masuk dalam kelompok
ini adalah suku bangsa Hieng di Kamboja, Miaotse, Yao-Jen di Cina, dan Senoi di
Semenanjung Malaya.
Beberapa suku
bangsa seperti Kubu, Lubu, Talang Mamak yang tinggal di Sumatra dan Toala di
Sulawesi merupakan penduduk tertua di Kepulauan Indonesia. Mereka mempunyai
hubungan erat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan orang Vedda yang saat
ini masih terdapat di Afrika, Asia Selatan, dan Oceania. Vedda itulah manusia
pertama yang datang ke pulau-pulau yang sudah berpenghuni. Mereka membawa
budaya perkakas batu. Kedua ras Melanesia dan Vedda hidup dalam budaya
mesolitik.
Pendatang berikutnya membawa budaya baru yaitu
budaya neolitik. Para pendatang baru itu jumlahnya jauh lebih banyak daripada
penduduk asli. Mereka datang dalam dua tahap. Mereka itu oleh Sarasin disebut
sebagai Proto Melayu dan Deutro Melayu. Kedatangan mereka terpisah diperkirakan
lebih dari 2.000 tahun yang lalu.
1. Proto
Melayu
Proto Melayu diyakini sebagai nenek moyang orang
Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai pulau-pulau paling timur
di Pasifik. Mereka diperkirakan datang dari Cina bagian selatan. Ras Melayu ini
mempunyai ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecoklatan-coklatan, dan bermata
sipit. Dari Cina bagian selatan (Yunan) mereka bermigrasi ke Indocina dan Siam,
kemudian ke Kepulauan Indonesia. Mereka itu mula-mula menempati pantai-pantai
Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Ras Proto Melayu membawa
peradaban batu di Kepulauan Indonesia. Ketika datang para imigran baru, yaitu
Deutero Melayu (Ras Melayu Muda). Mereka berpindah masuk ke pedalaman dan
mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat huniannya. Ras Proto Melayu
itu pun kemudian mendesak keberadaan penduduk asli. Kehidupan di dalam
hutan-hutan menjadikan mereka terisolasi dari dunia luar, sehingga memudarkan
peradaban mereka. Penduduk asli dan ras proto melayu itu pun kemudian melebur.
Mereka itu kemudian menjadi suku bangsa Batak, Dayak, Toraja, Alas, dan Gayo.
Kehidupan
mereka yang terisolasi itu menyebabkan ras Proto Melayu sedikit mendapat
pengaruh dari kebudayaan Hindu maupun Islam dikemudian hari. Para ras Proto
Melayu itu kelak mendapat pengaruh Kristen sejak mereka mengenal para penginjil
yang masuk ke wilayah mereka untuk memperkenalkan agama Kristen dan peradaban
baru dalam kehidupan mereka. Persebaran suku bangsa Dayak hingga ke Filipina Selatan,
Serawak, dan Malaka menunjukkan rute perpindahan mereka dari Kepulauan
Indonesia. Sementara suku bangsa Batak yang mengambil rute ke barat menyusuri
pantai-pantai Burma dan Malaka Barat. Beberapa kesamaan bahasa yang digunakan
oleh suku bangsa Karen di Burma banyak mengandung kemiripan dengan bahasa
Batak.
2. Deutero
Melayu
Deutero Melayu merupakan ras yang datang dari
Indocina bagian utara.
Mereka membawa budaya baru berupa perkakas dan senjata besi di Kepulauan
Indonesia, atau Kebudayaan Dongson. Mereka seringkali disebut juga orang-orang
Dongson. Peradaban mereka lebih tinggi daripada ras Proto Melayu. Mereka dapat
membuat perkakas dari perunggu. Peradaban mereka ditandai dengan keahlian
mengerjakan logam dengan sempurna. Perpindahan mereka ke Kepulauan Indonesia
dapat dilihat dari rute persebaran alat-alat yang mereka tinggalkan di beberapa
kepulauan di Indonesia, yaitu berupa kapak persegi panjang. Peradaban ini dapat
dijumpai di Malaka, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara
Timur.
Dalam bidang pengolahan tanah mereka mempunyai
kemampuan untuk membuat irigasi pada tanah-tanah pertanian yang berhasil mereka
ciptakan, dengan membabat hutan terlebih dahulu. Ras Deutero Melayu juga
mempunyai peradaban pelayaran lebih maju dari pendahulunya karena petualangan
mereka sebagai pelaut dibantu dengan penguasaan mereka terhadap ilmu
perbintangan. Perpindahan ras Deutero Melayu juga menggunakan
jalur pelayaran laut. Sebagian
dari ras Deutero Melayu ada yang mencapai Kepulauan Jepang, bahkan kelak ada
yang hingga sampai Madagaskar.
Kedatangan ras
Deutero Melayu di Kepulauan Indonesia makin lama semakin banyak. Mereka pun
kemudian berpindah mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat hunian
baru. Pada akhirnya Proto dan Deutero Melayu membaur dan selanjutnya menjadi
penduduk di Kepulauan Indonesia. Pada masa selanjutnya mereka sulit untuk
dibedakan. Proto Melayu meliputi penduduk di Gayo dan Alas di Sumatra bagian utara,
serta Toraja di Sulawesi. Sementara itu, semua penduduk di Kepulauan Indonesia,
kecuali penduduk Papua dan yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua, adalah
ras Deutero Melayu.
3. Melanesoid
Ras lain yang terdapat di Kepulauan Indonesia adalah ras Melanesoid.
Mereka tersebar di lautan Pasifik di pulau-pulau yang letaknya sebelah Timur
Irian dan benua Australia. Di Kepulauan Indonesia mereka tinggal di Papua
Barat, Ambon, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Bersama dengan
Papua-Nugini dan Bismarck, Solomon, New Caledonia dan Fiji, Vanuatu, mereka
tergolong rumpun Melanesoid.
Pada mulanya
kedatangan Bangsa Melanesoid di Kepulauan Indonesia berawal saat zaman es
terakhir, yaitu tahun 70.000 SM. Pada saat itu Kepulauan Indonesia belum
berpenghuni. Ketika suhu turun hingga mencapai kedinginan maksimal, air laut
menjadi beku. Permukaan laut menjadi lebih rendah 100 m dibandingkan permukaan
saat ini. Pada saat itulah muncul pulau-pulau baru. Adanya pulau-pulau itu
memudahkan mahkluk hidup berpindah dari Asia menuju kawasan Oseania.
Bangsa Melanesoid melakukan perpindahan ke timur
hingga ke Papua, selanjutnya ke Benua Australia, yang sebelumnya merupakan satu
kepulauan yang terhubung dengan Papua. Bangsa Melanesoid saat itu hingga mencapai 100 ribu
jiwa meliputi wilayah Papua dan Australia. Peradaban bangsa Melanesoid dikenal
dengan paleotikum.
Pada saat masa
es berakhir dan air laut mulai naik lagi pada tahun 5000 S.M, kepulauan Papua
dan Benua Australia terpisah seperti yang dapat kita lihat saat ini. Pada saat
itu jumlah penduduk mencapai 0,25 juta dan pada tahun 500 S.M. mencapai 0,5
jiwa.
Asal mula
bangsa Melanesia, yaitu Proto Melanesia merupakan penduduk pribumi di Jawa.
Mereka adalah manusia Wajak yang tersebar ke timur dan menduduki Papua, sebelum
zaman es berakhir dan sebelum kenaikan permukaan laut yang terjadi pada saat
itu. Di Papua manusia Wajak hidup berkelompok-kelompok kecil di sepanjang
muara-muara sungai. Mereka hidup dengan menangkap ikan di sungai dan meramu tumbuh-tumbuhan
serta akar-akaran, serta berburu di hutan belukar. Tempat tinggal mereka berupa
perkampungan-perkampungan yang terbuat dari bahan-bahan yang ringan.
Rumah-rumah itu sebenarnya hanya berupa kemah atau tadah angin, yang sering
didirikan menempel pada dinding gua yang besar. Kemah-kemah dan tadah angin itu
hanya digunakan sebagai tempat untuk tidur dan berlindung, sedangkan aktifitas
lainnya dilakukan di luar rumah.
Bangsa Proto
Melanesoid terus terdesak oleh bangsa Melayu. Mereka yang belum sempat mencapai
kepulauan Papua melakukan percampuran dengan ras baru itu. Percampuran bangsa
Melayu dengan Melanesoid menghasilkan keturunan Melanesoid-Melayu, saat ini
mereka merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
4. Negrito
dan Weddid
Sebelum kedatangan
kelompok-kelompok Melayu tua dan muda, negeri kita sudah terlebih dulu kemasukkan
orang-orang Negrito dan Weddid. Sebutan Negrito diberikan oleh orang-orang
Spanyol karena yang mereka jumpai itu berkulit hitam mirip dengan jenis-jenis
Negro. Sejauh mana kelompok Negrito itu bertalian darah dengan jenis-jenis Negro yang terdapat di Afrika
serta kepulauan Melanesia (Pasifik), demikian pula bagaimana sejarah
perpindahan mereka, belum banyak diketahui dengan pasti.
Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dengan
kepala mesocephal dan letak mata yang dalam sehingga nampak seperti berang;
kulit mereka coklat tua dan tinggi rata-rata lelakinya 155 cm. Weddid artinya
jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di Pulau Ceylon (Srilanka). Persebaran
orang-orang Weddid di Nusantara cukup luas, misalnya di Palembang dan Jambi
(Kubu), di Siak (Sakai) dan di Sulawesi pojok tenggara (Toala, Tokea dan
Tomuna).
Periode migrasi
itu berlangsung berabad-abad, kemungkinan mereka berasal dalam satu kelompok
ras yang sama dan dengan budaya yang sama pula. Mereka itulah nenek moyang
orang Indonesia saat ini.
Sekitar 170 bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia adalah bahasa
Austronesia (Melayu-Polinesia). Bahasa itu kemudian dikelompokkan menjadi dua
oleh Sarasin, yaitu Bahasa Aceh dan bahasa-bahasa di pedalaman Sumatra,
Kalimantan, dan Sulawesi. Kelompok kedua adalah bahasa Batak, Melayu standar,
Jawa, dan Bali. Kelompok bahasa kedua itu mempunyai hubungan dengan bahasa
Malagi di Madagaskar dan Tagalog di Luzon. Persebaran geografis kedua bahasa
itu menunjukkan bahwa penggunanya adalah pelaut-pelaut pada masa dahulu yang
sudah mempunyai peradaban lebih maju. Di samping bahasa-bahasa itu, juga
terdapat bahasa Halmahera Utara dan Papua yang digunakan di pedalaman Papua dan
bagian utara Pulau Halmahera.
Dalam
bahasan di atas kita telah membahas tentang teori asal usul nenek moyang
Indonesia. Selama ini kita ketahui bahwa Proto Melayu, Deutero Melayu, dan
Melanesoid tidak menunjukkan hubungan geneologis, bahkan ada yang berpendapat
keberadaan mereka ada karena pergantian populasi. Namun berdasarkan penelitian
baru yang melibatkan ahli arkeologi, genetika, dan bahasa, ternyata asal-usul
nenek moyang Indonesia berasal dari persamaan budaya, bahasa, dan dua atau
lebih populasi keturunan sehingga menghasilkan teori baru yaitu Teori Out of
Africa dan Out of Taiwan.
5. Teori
Out of Africa dan Out of Taiwan
Dalam
tinjauan akademis yang komprehensif tentang asal-usul nenek moyang Indonesia,
maka terlihatlah bahwa betapa eratnya keterkaitan dinamika sejarah Melanesia
dengan bumi Nusantara. Mungkin kita akan bertanya, siapakah yang dimaksud
dengan
Melanesia itu? Kata Melanesia diperkenalkan pertama kali oleh Dumont d’Urville
seorang penjelajah berkebangsaan Perancis untuk menyebut wilayah etnik penduduk
yang berkulit hitam dan berambut keriting di kawasan Pasifik, dalam pertemuan
Geography Society of Paris pada tanggal 27 Desember 1831.
Menurut
Harry Truman, Pada sekitar 60.000 tahun yang lalu ada sekelompok orang yang
dengan semangat keberaniannya melintasi selat-selat dan laut hingga mencapai
Kepulauan Nusantara. Mereka adalah Homo sapiens yang dalam buku literatur
disebut sebagai Manusia Modern Awal. Ketika berangkat dari tanah asalnya yaitu
Afrika, mereka tidak mempunyai tempat tujuan. Teori ini oleh para ahli disebut
sebagai Teori Out of Africa. Dalam pikiran mereka yang ada hanyalah, bagaimana
mereka dapat menemukan ladang kehidupan baru yang lebih menjanjikan. Mereka
beruntung dalam pengembaraannya segala rintangan alam dapat diatasi, dari
generasi ke genarasi mereka mencapai wilayah-wilayah penghidupan yang baru. Di
tempat baru itu mereka mengeksplorasi sumberdaya lingkungan yang tersedia untuk
mempertahankan hidup. Mereka meramu dari berbagai umbi-umbian dan buah-buahan
yang ada di wilayah itu. Hewan-hewan juga diburu untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Untuk keperluan itu maka dibuatlah peralatan dari batu dan bahan
organik, seperti kayu dan bambu.
Waktu
terus berlalu, perubahan alam karena iklim dan geografi juga populasi yang
terus bertambah, mendorong mereka untuk mencari wilayah hunian baru. Perlahan
tetapi pasti mereka mengembara mencari tempat hunian baru. Mereka kemudian
menyebar hingga ke wilayah timur kepulauan Indonesia, bahkan meluas hingga
mencapai Melanesia Barat dan Australia, wilayah geografi hunian mereka pun
semakin meluas.
Pengalaman
yang diperoleh selama mereka mengembara itu menjadi pengetahuan, yang
selanjutnya pengetahuan itu diturunkan dari generasi ke generasi. Kemampuan
berlayar dan membuat rakit, serta teknik-teknik membuat alat transportasi laut yang lebih kuat
dan nyaman. Begitu pula dengan pengetahuan perbintangan untuk menunjukkan arah
saat berlayar. Pengalaman untuk menaklukkan ekosistem daratan, sehingga mereka
mampu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ekologi yang berbeda-beda.
Pengalaman itu menjadi pengetahuan-pengetahuan baru untuk memanfaatkan sumber
daya yang ada di lingkungan yang baru.
Pada
saat berakhirnya zaman es sekitar 12.000 tahun yang lalu, menyebabkan perubahan
besar dalam berbagai hal. Kenaikan muka laut yang dratis mendorong penduduk di
kepulauan Indonesia melakukan persebaran ke berbagai arah. Persebaran mereka
ini juga telah merubah peta hunian mereka. Kondisi alam yang saat itu
mendukung, semakin meyakinkan mereka untuk menetap ditempat hunian yang baru itu.
Alam tropis dengan biodiversitasnya menyediakan kebutuhan hidup sehingga
populasi terus meningkat.
Para
ahli menggolongkan mereka sebagai Ras Australomelanesid. Mereka kemudian hidup
menyebar ke gua-gua. Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, kebutuhan
nenek moyang kita ini juga semakin meningkat. Teknologi untuk mempermudah
kehidupan mereka juga semakin berkembang. Peralatan dari batu semakin beragam,
peralatan dari bahan organik pun semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan
mereka. Keanekaragaman dalam peralatan manusia pada saat itu semakin mendorong
produktivitas hingga semakin membawa kemajuan dalam berbagai bidang. Kemajuan
dalam bidang seni pada saat itu ditandainya terdapat lukisan-lukisan cadas yang
terdapat di dinding gua-gua yang memanifestasikan kekayaan alam pikiran.
Kepercayaan pada kehidupan sesudah mati juga terkonsepsi dalam perilaku kubur
terhadap orang yang meninggal.
Kemudian
pada sekitar 4000 – 3000 tahun yang lalu, kepulauan Indonesia kedatangan
orang-orang baru. Mereka ini membawa budaya baru yang seringkali disebut dengan
budaya Neolitik. Budaya ini sering dicirikan dengan kehidupan yang menetap dan
domestikasi hewan dan tanaman. Pendatang yang berbicara dengan tutur
Austronesia ini diperkirakan datang dari Taiwan dengan kedatangan awal Sulawesi
juga kemungkinan Kalimantan. Dari sinilah mereka kemudian menyebar ke berbagai
pelosok Kepulauan Nusantara. Pendatang yang lain tampaknya berasal dari Asia
Tenggara Daratan. Mereka menggunakan bahasa Austroasiatik. Mereka ini dapat
mencapai Kepulauan Nusantara bagian barat melalui Malaysia. Teori inilah yang
seringkali oleh para ahli disebut sebagai teori Out of Taiwan. Pertemuan para
pendatang ini dengan populasi Australomelanesia pun tak dapat dielakkan,
sehingga terjadi kohabitasi. Adaptasi dan interaksi diantara sesama pun terjadi
hingga mereka melakukan perkawinan campuran hingga terjadi interaksi budaya dan
dalam beberapa hal silang genetika pun tak dapat dihindari. Proses interaksi
yang berlanjut memperlihatkan keturunan Ras Australomelanesid yang sekarang
lebih dikenal sebagai populasi Melanesia.
Pendapat
Harry Truman tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh
Herawati Sudoyo. Dalam studi genetika terbaru menunjukkan bahwa, genetika
manusia Indonesia saat ini kebanyakan adalah campuran, berasal dari dua atau
lebih populasi moyang. Secara gradual, presentasi genetikan Austronesia lebih
dominan di bagian timur Indonesia. Sekalian kecil porsinya, genetika Papua ada
hampir di seluruh wilayah bagian barat Indonesia. Hal ini menunjukkan, bahwa di
masa lalu terjadi percampuran genetika dibandingkan penggantian populasi.
Demikian
pula dari sudut penggunaan bahasa, kepulauan Indonesia yang mempunyai lebih
dari 700 etnis, dengan 706 bahasa daerah dapat digolongkan dalam dua bagian,
yaitu penutur Austronesia dan non-Austronesia atau lebih sering disebut sebagai
Papua. Multamia RMT Lauder menjelaskan bahwa telah terjadi pinjam-meminjam
leksikal antara bahasa-bahasa non-Austronesia dengan Austronesia. Diperkirakan
lebih dari 30 % dari semua bahasa yang hidup saat ini adalah bahasa Non-Austronesia.
Rumpun bahasa Austronesia cenderung ditemukan di daerah pesisir, tetapi ini
tidak selalu. Bahasa Austronesia juga dapat ditemukan di daerah pedalaman Papua
Nugini.
Gambaran
itu menunjukkan adanya pola migrasi yang kompleks tetapi jelas, yaitu dari
barat ke timur. Berdasarkan data itu nyatalah bahwa hubungan Austronesia dan
Non-Austronesia bagaikan sebuah kain tenun yang benang-benangnya saling
terjalin indah.
Coba
kamu identifikasikan peninggalan sejarah berupa benda dan karya seni yang dapat
dikategorikan sebagai tinggalan masa proto sejarah. Adakah manfaat dari
peninggalan tersebut bagi kehidupan manusia sekarang? Menurut pendapat kamu,
bagaimana peninggalan tersebut bisa menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia
bahkan sampai ke luar wilayah Indonesia?
Untuk
mengerjakan soal di atas maka kamu dapat melakukan beberapa tahapan sebagai
berikut:
1.
Identifikasi
permasalahan yang menurut kamu menarik untuk diteliti, yaitu merumuskan masalah
(biasanya dalam bentuk kalimat pertanyaan), seperti dimanakah manusia
pra-aksara biasanya tinggal? Bagaimana mereka bisa mempertahankan kehidupannya?
dan lain-lain sebagainya, kamu dapat mendiskusikan dengan teman-teman kamu!
2.
Setelah
itu carilah sumber-sumber yang menjelaskan tentang permasalahan yang akan
diteliti. Caranya dengan mencari dari internet, buku-buku bacaan, kliping
koran, foto-foto, ilustrasi dan wawancara dengan tokoh masyarakat yang kamu
anggap mengetahui permasalahan.
3. Setelah kamu temukan sumber-sumber tersebut,
lakukan perbandingan antara sumber yang satu dengan yang lain untuk mencari
kebenaran. Jika dari bacaan terdapat dua atau lebih sumber yang menyatakan hal
yang sama maka bisa saja kita anggap sumber tersebut mendekati kebenaran.
4. Apabila di daerah tempat tinggal kamu terdapat
peninggalan sejarah yang diduga tinggalan masa pra-aksara, kamu bersama
teman-teman dapat mengunjungi situs tersebut untuk meyakinkan pendapat kamu.
Setelah itu barulah kamu rumuskan dalam bentuk tulisan yang runtut sekitar 3 –
5 lembar tulisan.