Raka memandangi layar ponselnya yang menyala.
Pesan dari Nafisa baru saja masuk, balasannya selalu cepat, seperti tidak ingin
membiarkan percakapan itu terputus. Ia tersenyum kecil, mengingat bagaimana
semuanya dimulai hanya dari obrolan ringan tentang status WhatsApp.
"Putrinya udah gede, ya," tulis Raka
waktu itu, mencoba memecah keheningan.
"Itu keponakan saya, Mas. Saya masih gadis," balas Nafisa, disertai
emoji tertawa. Balasan itu sederhana, tapi membuat Raka merasa percakapan ini
punya ruang untuk terus berkembang.
Hari-hari berikutnya, mereka mulai berbagi
cerita. Tentang keluarga, rutinitas kerja, dan hal-hal kecil yang terkadang
remeh tetapi entah kenapa terasa menyenangkan untuk dibicarakan. Nafisa punya
gaya bicara yang santai, sementara Raka cenderung lebih serius tetapi tak
pernah kehabisan cara untuk membuat suasana menjadi ringan.
Suatu hari, Nafisa menyinggung sesuatu yang
membuat percakapan mereka lebih mendalam.
"Calonnya enggak ada, kebetulan meninggal 2 tahun lalu," tulis Nafisa
tiba-tiba.
Raka terdiam sejenak. Ia tidak menyangka akan mendengar hal semacam itu,
apalagi dari Nafisa yang biasanya terdengar ceria. "Innalillahi wa inna
ilaihi raji'un. Turut berduka, ya. Berat pasti, tapi kamu kuat banget,"
balas Raka, mencoba memberi kekuatan lewat kata-katanya.
"Ya, begitulah. Hidup kan jalan terus,"
balas Nafisa, singkat. Namun, di balik kalimatnya yang terlihat tegar, Raka
bisa merasakan ada banyak luka yang masih belum sembuh sepenuhnya.
Dari situ, pembicaraan mereka semakin dalam.
Nafisa berbagi tentang momen-momen kecil bersama almarhum saudaranya.
"Kadang suka kangen bikin rencana, walaupun tahu enggak bakal
kesampaian," tulisnya. Raka membalas, "Pasti dia bangga sama kamu.
Dari caramu cerita, kelihatan banget kalau dia beruntung punya kamu."
Namun, tidak semua percakapan mereka berat. Ada
banyak obrolan ringan yang membuat Nafisa terkadang tertawa kecil di balik
layar. Seperti saat Raka bertanya tentang hobi, lalu mendapati bahwa Nafisa
ternyata menyukai laut.
"Pantai itu tempat paling tenang. Rasanya,
semua beban hilang kalau lihat ombak," kata Nafisa.
"Kalau gitu, kapan-kapan kita ke pantai bareng," balas Raka dengan
nada bercanda. Tapi, seperti biasa, Nafisa hanya merespon dengan emoji tertawa,
tanpa janji apa-apa.
Suatu malam, Nafisa berkata ia merasa kurang
sehat. Raka langsung menyarankan, "Makan dulu, dong. Sup hangat tuh
manjur."
"Tapi aku enggak pengen makan," balas
Nafisa, singkat. Raka tahu, ada saat-saat Nafisa lebih memilih diam dengan
segala perasaannya, dan ia menghormati itu.
Meski begitu, Raka tidak pernah menyerah untuk
membuat Nafisa merasa nyaman. Kadang ia berbagi cerita tentang masa kecilnya,
terkadang bertanya tentang pengalaman Nafisa saat kuliah. Dari sana, Raka tahu
bahwa Nafisa pernah tinggal di kost, menjalani hidup mandiri jauh dari
keluarga. "Aku pikir ngekost itu bebas banget, tapi ternyata malah bikin
homesick, ya," komentar Raka.
"Iya, tapi di situ juga aku belajar banyak
hal," jawab Nafisa, memberikan pandangan berbeda.
Percakapan mereka terus berlanjut, tanpa arah
yang pasti. Tidak ada janji, tidak ada ekspektasi. Hanya dua orang yang saling
berbagi cerita dan menemani satu sama lain lewat layar kecil. Seperti ombak di
pantai yang disukai Nafisa—datang dan pergi, kadang tenang, kadang menghantam.
Raka tahu, mungkin Nafisa masih menyimpan banyak
hal yang belum bisa ia bagi sepenuhnya. Dan itu tidak apa-apa. Ia akan tetap di
sini, mengirim pesan demi pesan, tanpa pernah terburu-buru. Karena baginya, apa
pun yang datang dari Nafisa selalu memiliki makna.