Iklan_1

Education & Financial Konsulting

Education & Financial Konsulting
Education & Financial Konsulting

Agrobisnis & Pariwisata

Agrobisnis & Pariwisata
Agrobisnis & Pariwisata

Digital & Network Development

Digital & Network Development
Digital & Network Development
Memaknai Kata "Syukur"

Yogi Iskandar

2/04/2022

Acapkali, orang berkata "disyukuri aja, mungkin ini sudah menjadi jalan Tuhan". Ketika mendengar kata tersebut. Seringkali terpiki...

Memaknai Kata "Syukur"



Acapkali, orang berkata "disyukuri aja, mungkin ini sudah menjadi jalan Tuhan". Ketika mendengar kata tersebut. Seringkali terpikir bias, bahkan mungkin terkesan biasa saja. Padahal jika kita memaknainya secara mendalam. Kata Syukur itu sebuah kata yang dapat diartikan sebagai tanda trimakasih kita kepada yang Pencipta. Atas pencapaian yang telah didapatkan dalam perjalanan hidup. Namun, dengan intonasi "disyukuri aja". Hal ini, menunjukan nilai yang terkesan biasa saja. 

Karena terkesan biasa
saja, sehingga berdampak pada penerimaan yang biasa juga. Dengan penerimaan yang biasa, membuat seseorang bertindak biasa juga. Sampai pada akhirnya peningkatan yang mengarah pada perbaikan diri tidak terlalu besar. Bahkan, terkesan monoton. Pada akhirnya, pencapaian yang diraihpun ya, segitu saja. Tidak mengalami peningkatan yang drastis.

Selanjutnnya, anda juga pasti pernah mendengar sebuah kalimat "Seharusnya, kita bersyukur bisa berada ditempat ini". atau "Seharusnya anda bersyukur, anda masih bisa makan 3 kali sehari. Walaupun, hanya makan nasi dengan ikan asin". Kemudian anda bisa menjawab, "Iya, yah". lantas melupakan apa yang telah didapatkan. 

Apakah, hal itu salah? Tentu, tidak. Sejatinya, apapun yang dikatakan oleh setiap orang tidak ada yang salah. Cuman, pantas atau tidak. Nah, ini yang harus dipahami. Jadi pada saat kita mau melontarkan sebuah kalimat. Salah satu aspek, yang harus dipikirkan adalah kepantasannya. Bukan tentang salah atau benar. 

Kenapa kita berpikir tentang pantas dan tidak pantas, bukan tentang benar atau tidak benar. Ketika kita hanya berpikir benar atau tidak benar. Ini mengarah pada tru and false. Sedangkan setiap tindakan yang harus dilakukan oleh manusia, harus mengarah pada true and false. Anda bisa membayangkan, ketika manusia harus selalu benar. Maka, tatanan kehidupan manusiapun tidak akan berubah sederastis ini. 

Kenapa hal itu bisa terjadi?, karena jika manusia hanya berpikir benar dan salah. Maka manusia tidak akan pernah mengembangkan ilmu pengetahuan. Aspek yang akan dilakukan oleh menusia hanyalah tentang nilai ibadah. Karena disanalah nilai kebenaran itu selalu muncul. Lantas, apakah kita akan terus menerus melakukan dzikir selama 24 jam, atau bentuk nilai peribadatan lainya. 

Sedangkan perut kita, selama setiap 7 jam sekali pasti merasa lapar dan sayangnya tidak bisa kenyang dengan nilai ibadah yang disebutkan tadi diatas. Maka, untuk mengisi perut kita. Harus ada usaha yang dialakukan. Tentunya, tidak akan cukup jika kita memaknai sebuah tindakan dengan dilihat benar dan salah. 

Sedangkan, disisilain Ibnu Umar radiallahu ‘anhu berbunyi:

“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.”

Dari hadist tersebut tentunya, ada sebuah nilai yang bisa didapakan melalui value tentang benar dan salah. Misalnya, ketika manusia melakukan percobaan untuk menemukan sebuah alat. Contahnya, alat rumah tangga seperti setrika. Tentunya ada true and false, sebelum ditemukannya setrikaan tersebut. Dari paradigma tersebut, kita tidak bisa menilai dari benar ataupun salah. Melainkan dari, pantas dan tidak pantas. Karena, jika kita hanya memandang dari benar atau salah. Manusia akan ketakutan untuk mencoba hal baru. 

Pernahkan, anda mendengar sebuah kalimat. "Tuhan akan, mengabulkan keinginanmu. Sesuai dengan kepantasannya". Apa yang dapat anda pikirkan, dari kalimat tersebut?, kepantasan kan? . Lantas kenapa?, anda berpikir tentang benar dan salah. 
Jadi, yang harus terpikirkan oleh manusia adalah tentang pantas dan tidak pantas. Bukan tentang benar atau salah. Lalu, pantaskah kata "disyukuri aja", "Seharusnya kita bersyukur" atau "Meskipun dengan lauk asin". Ketika memaknai kalimat tersebut, tentunya tidak pantas. Sehingga, pantas saja. Hidup anda gitu-gitu aja. Tidak mengalami perubahan yang sinifikan. Karenan mindset udah tidak pantas. 

"Pasti, anda berpikir seharus apa yang harus dikatakan?", kalau anda berpikir demikian maka seharunya anda berkata saya bersyukur Tuhan sudah memberikan saya pekerjaan. Sudah cukup sampai disana, jangan menambah kalimat meskipun atau apapun yang terdengar tidak nyaman. Saya juga sebagai manusia tidak nyaman mendengarnya apalagi Tuhan yang telah menciptakan kita. 

Lalu, apakah kita cukup dengan mangakatakan "Saya bersyukur". Tentu saja tidak, anda sebagai seorang manusia tidak akan pernah menyukai perkataan seseorang tanpa diiringi dengan bukti. Seperti halnya, seorang peria atau laki-laki berkata kepada seoarang perempuan. "Saya sayang sama kamu", kemudian eh taunya dia perempuan bening lewat di gombalin. Apakah anda sebagai seorang perempuan ataupun seorang laki-laki yang mendapatkan kata manis dari seorang perempuan akan menyukai hal itu?. Saya pikir, tentu saja tidak. 
Jika anda, saja sebagai manusia tidak menyukainya. Lantas, bagaimana dengan Tuhan?. Coba anda pikirkan!. Jadi, untuk mensyukuri atas apa yang diberikan oleh Tuhan. Tentunya dengan, bekerjan dan belajar sebaik mungkin. Dengan cara, bekerja dan belajar sebaik mungkin. Inilah bentuk rasa syukur yang paling berharga. Lisan mengatakan syukur, diiringi dengan tindakan, bukan itu lebih pantas dan telihat hebat. Disamping, manusia semakin cerdas juga akan mendapatkan value yang lain. Sehingga, kita tidak istilah kata stagnan tidak akan ada. 

Bukankan sudah dijelaskan dalam surat Al-Insyirah ayat 7 "Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain".

Dari kalimat tersebut, tentunya setiap orang harus bekerja dan belajar dengan sungguh-sungguh. Maka, tidaklah cukup dengan hanya berkata-kata saja. Melainkan juga harus diiringi dengan tindakan. 

Jadi, untuk memaknai rasa syukur. Maka, kita harus bekerja dan belajar seoptimal mungkin. Atau orang sering berkata menjalankan amanah sebaik mungkin. Landasan, kita dalam bekerja bukan tentang seberapa uang yang kita dapatkan. Melainkan, sebagai rasa syukur kita terhadap Tuhan.  Atas apa yang telah diberikan kepada kita. Baik, itu rezeki secara materil (Uang) ataupun bentuk lainnya. Seperti, kesehatan dan nikmat-nikmat lainnya.



Sumber: https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/makna-hadits-bekerjalah-untuk-duniamu-seolah-kauhidup-selamanya-hwmYf



Share Post:

Yogi Iskandar


Yogi Iskandar

Yogi Iskandar

Sponsor By:

SUBSCRIBER


SUBSCRIBER

Iklan_Foot