Matahari sore bersinar lembut di balik jendela
ruang kerja Raka, menyisakan hangat yang seolah bertentangan dengan perasaan di
hatinya. Di layar ponsel, nama Nafisah muncul. Ada pesan sederhana, namun cukup
untuk membuat pikirannya berkelana.
"Temenmu kah, Kak? Tetiba ngefollow, tau
namaku dari kamu kah?"
Nafisah, wanita dengan senyum yang selalu tampak
tenang namun menyimpan kedalaman cerita yang tak pernah sepenuhnya terucap.
Mereka bertemu di sebuah acara kampus, saat Raka diminta menjadi pemateri di
tempat Nafisah bekerja. Awalnya, pertemuan itu terasa biasa saja, tapi siapa
sangka, obrolan singkat mereka menjadi awal dari sebuah hubungan yang lebih
dari sekadar formalitas pekerjaan.
Namun, hubungan mereka tak pernah mudah. Nafisah
masih menyimpan luka, kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.
Raka tahu, langkahnya mendekati Nafisah harus hati-hati, seperti berjalan di
atas kaca rapuh. Ia tidak ingin mendesak, namun juga tak mampu sepenuhnya
menjauh.
Di suatu hari, Raka memberanikan diri untuk
mengungkapkan perasaannya. Ia tahu risikonya, tahu Nafisah mungkin belum siap.
Dan benar saja, jawaban Nafisah datang dengan lembut namun tegas, "Aku
belum siap. Aku masih butuh waktu."
Sejak saat itu, komunikasi mereka berubah menjadi
sesuatu yang lebih hati-hati. Raka berusaha hadir, mendukung dari jauh, tapi
rasa itu tetap ada, menunggu kapan akan mendapat tempatnya. Di sela kesibukan
kerja, ia mencoba menciptakan jarak, berharap waktu bisa menjadi penyembuh.
Puncaknya, ketika Raka harus pergi ke Bali untuk
urusan pekerjaan. Ia memutuskan memberi tahu Nafisah dengan alasan yang
sederhana, namun cukup untuk menandai bahwa komunikasi mereka mungkin akan
berkurang selama beberapa hari. "Mungkin ini waktunya untuk kita
sama-sama fokus pada aktivitas masing-masing."
Di sisi lain, Nafisah tak pernah benar-benar
menjauh. Meski jarang memulai, responsnya selalu cepat. Tapi bagi Raka,
percakapan mereka lebih terasa seperti ombak kecil yang berulang di pantai,
monoton dan searah. Ia merasa kehadirannya tak begitu berarti bagi Nafisah,
meski ia sendiri masih berharap sebaliknya.
Hingga suatu malam, setelah berhari-hari tanpa
komunikasi, Raka memutuskan untuk berhenti mencoba. "Mungkin ini
saatnya aku menutup perasaan ini," pikirnya. Ia ingin segalanya
terasa lebih natural, tanpa ekspektasi yang melelahkan.
Namun di ujung malam itu, bayangan Nafisah masih
hadir di pikirannya. Bukan soal penolakan, bukan soal peluang kecil, melainkan
tentang bagaimana Nafisah selalu memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan
kehadiran, meski tanpa banyak kata.
Barangkali, ruang di antara mereka memang
diciptakan untuk mengajarkan sesuatu—tentang kesabaran, tentang menghargai
waktu, dan tentang cinta yang tidak selalu harus memiliki bentuk yang jelas.
Di suatu tempat di hatinya, Raka tahu. Jika memang mereka ditakdirkan bersama, waktu akan menemukan jalannya. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin menjaga jarak itu tetap ada, memberi ruang yang cukup untuk mereka berdua berpikir, merasa, dan menyembuhkan.
Dan malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Raka tersenyum kecil sambil menatap layar ponselnya yang diam. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi esok, tapi ia tahu, kisah mereka belum selesai.