Iklan_1

Education & Financial Konsulting

Education & Financial Konsulting
Education & Financial Konsulting

Agrobisnis & Pariwisata

Agrobisnis & Pariwisata
Agrobisnis & Pariwisata

Digital & Network Development

Digital & Network Development
Digital & Network Development
LANGKAH KECIL NAFISAH

Yogi Iskandar

11/19/2024

  Hari itu, langit mendung menggantung di atas kota. Nafisah duduk di ruang kerjanya, memandang tetesan hujan di jendela. Ada sesuatu yang m...

LANGKAH KECIL NAFISAH

 

Hari itu, langit mendung menggantung di atas kota. Nafisah duduk di ruang kerjanya, memandang tetesan hujan di jendela. Ada sesuatu yang menggantung di pikirannya sejak Raka memberi tahu bahwa ia akan pergi ke Bali. Selama beberapa hari terakhir, mereka hampir tidak saling bertukar pesan. Nafisah tahu, bukan karena Raka tak peduli, melainkan karena ia sendiri yang selalu ragu untuk memulai.

Tapi hari ini, Nafisah merasa berbeda. Ada sesuatu yang mengusik hatinya. Mungkin karena dia mulai menyadari bahwa kehadiran Raka, meskipun jarang terlihat, selalu terasa. Dari cara Raka mendengarkan tanpa menghakimi, hingga pesan-pesan singkat yang selalu penuh perhatian.

Dia mengambil ponselnya, mengetik sebuah pesan, lalu menghapusnya. Nafisah tersenyum tipis pada dirinya sendiri. "Kenapa selalu sulit untuk memulai?" gumamnya. Dia akhirnya memberanikan diri untuk menulis sesuatu yang sederhana.

"Gimana Bali? Capek nggak, Kak?"

Pesan terkirim. Nafisah memegang ponselnya erat-erat, seperti menunggu sesuatu yang besar terjadi. Tapi dia tahu, mungkin Raka sedang sibuk dan takkan langsung membalas.

Namun, hanya beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi. Balasan dari Raka:
"Capek sedikit, tapi seru. Aku lagi ingat kamu, Naf."

Hati Nafisah berdebar. Dia tahu Raka jarang berkata langsung seperti itu. Selama ini, Nafisah merasa Raka selalu menjaga jarak, mungkin takut menyinggung perasaannya yang masih rapuh. Tapi kini, ada sesuatu dalam pesan itu yang terasa lebih jujur, lebih dekat.

Sejak hari itu, komunikasi mereka kembali mengalir, seperti sungai kecil yang perlahan menemukan jalannya. Raka bercerita tentang pekerjaannya di Bali, sementara Nafisah berbagi cerita tentang murid-muridnya di kampus. Percakapan mereka tidak lagi terasa kaku atau searah.

Suatu malam, setelah selesai berbincang, Nafisah membuka laci mejanya. Di dalamnya, ada sebuah buku harian yang sudah lama tidak disentuhnya. Dia membuka halaman pertama, yang berisi coretan tentang mendiang saudaranya. Air matanya menggenang, tapi dia tersenyum.

"Aku rasa, aku mulai siap."

Keesokan harinya, Raka pulang dari Bali. Nafisah memberanikan diri mengajaknya bertemu. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil, tempat yang sederhana namun nyaman. Untuk pertama kalinya, Nafisah berbicara dengan terbuka.

"Aku dulu takut membuka diri, karena aku pikir aku belum pantas. Tapi kamu... selalu sabar, selalu ada, meskipun aku sering mengabaikanmu," ucap Nafisah dengan suara pelan namun mantap.

Raka tersenyum, mata hangatnya menatap Nafisah dengan lembut. "Aku tidak pernah menuntut apa-apa, Naf. Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada di sini. Dan aku akan selalu ada, jika kamu mengizinkan."

Hujan turun deras di luar, tapi bagi mereka, dunia terasa hangat. Nafisah tahu, ini adalah langkah kecil, tapi juga langkah yang paling berarti dalam hidupnya.

Di balik kaca jendela kafe, hujan yang turun seperti menjadi saksi dua hati yang akhirnya menemukan jalan untuk saling memahami.



Share Post:

Yogi Iskandar


Yogi Iskandar

Yogi Iskandar

Sponsor By:

SUBSCRIBER


SUBSCRIBER

Iklan_Foot