Iklan_1

Education & Financial Konsulting

Education & Financial Konsulting
Education & Financial Konsulting

Agrobisnis & Pariwisata

Agrobisnis & Pariwisata
Agrobisnis & Pariwisata

Digital & Network Development

Digital & Network Development
Digital & Network Development

Membuat Variabel Baru Hasil Perhitungan Matematika


Share Post:

Asal Usul dan Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia




Menurut Sarasin bersaudara, penduduk asli Kepulauan Indonesia adalah ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Mereka mulanya tinggal di Asia bagian tenggara. Ketika zaman es mencair dan air laut naik hingga terbentuk Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sehingga memisahkan pegunungan vulkanik Kepulauan Indonesia dari daratan utama. Beberapa penduduk asli Kepulauan Indonesia tersisa dan menetap di daerah-daerah pedalaman, sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk pendatang. Penduduk asli itu disebut sebagai suku bangsa Vedda oleh Sarasin. Ras yang masuk dalam kelompok ini adalah suku bangsa Hieng di Kamboja, Miaotse, Yao-Jen di Cina, dan Senoi di Semenanjung Malaya.
Beberapa suku bangsa seperti Kubu, Lubu, Talang Mamak yang tinggal di Sumatra dan Toala di Sulawesi merupakan penduduk tertua di Kepulauan Indonesia. Mereka mempunyai hubungan erat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan orang Vedda yang saat ini masih terdapat di Afrika, Asia Selatan, dan Oceania. Vedda itulah manusia pertama yang datang ke pulau-pulau yang sudah berpenghuni. Mereka membawa budaya perkakas batu. Kedua ras Melanesia dan Vedda hidup dalam budaya mesolitik.
Pendatang berikutnya membawa budaya baru yaitu budaya neolitik. Para pendatang baru itu jumlahnya jauh lebih banyak daripada penduduk asli. Mereka datang dalam dua tahap. Mereka itu oleh Sarasin disebut sebagai Proto Melayu dan Deutro Melayu. Kedatangan mereka terpisah diperkirakan lebih dari 2.000 tahun yang lalu.

1.  Proto Melayu

Proto Melayu diyakini sebagai nenek moyang orang Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka diperkirakan datang dari Cina bagian selatan. Ras Melayu ini mempunyai ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecoklatan-coklatan, dan bermata sipit. Dari Cina bagian selatan (Yunan) mereka bermigrasi ke Indocina dan Siam, kemudian ke Kepulauan Indonesia. Mereka itu mula-mula menempati pantai-pantai Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Ras Proto Melayu membawa peradaban batu di Kepulauan Indonesia. Ketika datang para imigran baru, yaitu Deutero Melayu (Ras Melayu Muda). Mereka berpindah masuk ke pedalaman dan mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat huniannya. Ras Proto Melayu itu pun kemudian mendesak keberadaan penduduk asli. Kehidupan di dalam hutan-hutan menjadikan mereka terisolasi dari dunia luar, sehingga memudarkan peradaban mereka. Penduduk asli dan ras proto melayu itu pun kemudian melebur. Mereka itu kemudian menjadi suku bangsa Batak, Dayak, Toraja, Alas, dan Gayo.
Kehidupan mereka yang terisolasi itu menyebabkan ras Proto Melayu sedikit mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu maupun Islam dikemudian hari. Para ras Proto Melayu itu kelak mendapat pengaruh Kristen sejak mereka mengenal para penginjil yang masuk ke wilayah mereka untuk memperkenalkan agama Kristen dan peradaban baru dalam kehidupan mereka. Persebaran suku bangsa Dayak hingga ke Filipina Selatan, Serawak, dan Malaka menunjukkan rute perpindahan mereka dari Kepulauan Indonesia. Sementara suku bangsa Batak yang mengambil rute ke barat menyusuri pantai-pantai Burma dan Malaka Barat. Beberapa kesamaan bahasa yang digunakan oleh suku bangsa Karen di Burma banyak mengandung kemiripan dengan bahasa Batak.

2.     Deutero Melayu
Deutero Melayu merupakan ras yang datang dari Indocina bagian utara. Mereka membawa budaya baru berupa perkakas dan senjata besi di Kepulauan Indonesia, atau Kebudayaan Dongson. Mereka seringkali disebut juga orang-orang Dongson. Peradaban mereka lebih tinggi daripada ras Proto Melayu. Mereka dapat membuat perkakas dari perunggu. Peradaban mereka ditandai dengan keahlian mengerjakan logam dengan sempurna. Perpindahan mereka ke Kepulauan Indonesia dapat dilihat dari rute persebaran alat-alat yang mereka tinggalkan di beberapa kepulauan di Indonesia, yaitu berupa kapak persegi panjang. Peradaban ini dapat dijumpai di Malaka, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur.
Dalam bidang pengolahan tanah mereka mempunyai kemampuan untuk membuat irigasi pada tanah-tanah pertanian yang berhasil mereka ciptakan, dengan membabat hutan terlebih dahulu. Ras Deutero Melayu juga mempunyai peradaban pelayaran lebih maju dari pendahulunya karena petualangan mereka sebagai pelaut dibantu dengan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan. Perpindahan ras Deutero Melayu juga menggunakan jalur pelayaran laut. Sebagian dari ras Deutero Melayu ada yang mencapai Kepulauan Jepang, bahkan kelak ada yang hingga sampai Madagaskar.
Kedatangan ras Deutero Melayu di Kepulauan Indonesia makin lama semakin banyak. Mereka pun kemudian berpindah mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat hunian baru. Pada akhirnya Proto dan Deutero Melayu membaur dan selanjutnya menjadi penduduk di Kepulauan Indonesia. Pada masa selanjutnya mereka sulit untuk dibedakan. Proto Melayu meliputi penduduk di Gayo dan Alas di Sumatra bagian utara, serta Toraja di Sulawesi. Sementara itu, semua penduduk di Kepulauan Indonesia, kecuali penduduk Papua dan yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua, adalah ras Deutero Melayu.
3.  Melanesoid
Ras lain yang terdapat di Kepulauan Indonesia adalah ras Melanesoid. Mereka tersebar di lautan Pasifik di pulau-pulau yang letaknya sebelah Timur Irian dan benua Australia. Di Kepulauan Indonesia mereka tinggal di Papua Barat, Ambon, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Bersama dengan Papua-Nugini dan Bismarck, Solomon, New Caledonia dan Fiji, Vanuatu, mereka tergolong rumpun Melanesoid.
Pada mulanya kedatangan Bangsa Melanesoid di Kepulauan Indonesia berawal saat zaman es terakhir, yaitu tahun 70.000 SM. Pada saat itu Kepulauan Indonesia belum berpenghuni. Ketika suhu turun hingga mencapai kedinginan maksimal, air laut menjadi beku. Permukaan laut menjadi lebih rendah 100 m dibandingkan permukaan saat ini. Pada saat itulah muncul pulau-pulau baru. Adanya pulau-pulau itu memudahkan mahkluk hidup berpindah dari Asia menuju kawasan Oseania.
Bangsa Melanesoid melakukan perpindahan ke timur hingga ke Papua, selanjutnya ke Benua Australia, yang sebelumnya merupakan satu kepulauan yang terhubung dengan Papua. Bangsa Melanesoid saat itu hingga mencapai 100 ribu jiwa meliputi wilayah Papua dan Australia. Peradaban bangsa Melanesoid dikenal dengan paleotikum.
Pada saat masa es berakhir dan air laut mulai naik lagi pada tahun 5000 S.M, kepulauan Papua dan Benua Australia terpisah seperti yang dapat kita lihat saat ini. Pada saat itu jumlah penduduk mencapai 0,25 juta dan pada tahun 500 S.M. mencapai 0,5 jiwa.
Asal mula bangsa Melanesia, yaitu Proto Melanesia merupakan penduduk pribumi di Jawa. Mereka adalah manusia Wajak yang tersebar ke timur dan menduduki Papua, sebelum zaman es berakhir dan sebelum kenaikan permukaan laut yang terjadi pada saat itu. Di Papua manusia Wajak hidup berkelompok-kelompok kecil di sepanjang muara-muara sungai. Mereka hidup dengan menangkap ikan di sungai dan meramu tumbuh-tumbuhan serta akar-akaran, serta berburu di hutan belukar. Tempat tinggal mereka berupa perkampungan-perkampungan yang terbuat dari bahan-bahan yang ringan. Rumah-rumah itu sebenarnya hanya berupa kemah atau tadah angin, yang sering didirikan menempel pada dinding gua yang besar. Kemah-kemah dan tadah angin itu hanya digunakan sebagai tempat untuk tidur dan berlindung, sedangkan aktifitas lainnya dilakukan di luar rumah.
Bangsa Proto Melanesoid terus terdesak oleh bangsa Melayu. Mereka yang belum sempat mencapai kepulauan Papua melakukan percampuran dengan ras baru itu. Percampuran bangsa Melayu dengan Melanesoid menghasilkan keturunan Melanesoid-Melayu, saat ini mereka merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

4.  Negrito dan Weddid
Sebelum kedatangan kelompok-kelompok Melayu tua dan muda, negeri kita sudah terlebih dulu kemasukkan orang-orang Negrito dan Weddid. Sebutan Negrito diberikan oleh orang-orang Spanyol karena yang mereka jumpai itu berkulit hitam mirip dengan jenis-jenis Negro. Sejauh mana kelompok Negrito itu bertalian darah dengan jenis-jenis Negro yang terdapat di Afrika serta kepulauan Melanesia (Pasifik), demikian pula bagaimana sejarah perpindahan mereka, belum banyak diketahui dengan pasti.
Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dengan kepala mesocephal dan letak mata yang dalam sehingga nampak seperti berang; kulit mereka coklat tua dan tinggi rata-rata lelakinya 155 cm. Weddid artinya jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di Pulau Ceylon (Srilanka). Persebaran orang-orang Weddid di Nusantara cukup luas, misalnya di Palembang dan Jambi (Kubu), di Siak (Sakai) dan di Sulawesi pojok tenggara (Toala, Tokea dan Tomuna).
Periode migrasi itu berlangsung berabad-abad, kemungkinan mereka berasal dalam satu kelompok ras yang sama dan dengan budaya yang sama pula. Mereka itulah nenek moyang orang Indonesia saat ini.
Sekitar 170 bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia adalah bahasa Austronesia (Melayu-Polinesia). Bahasa itu kemudian dikelompokkan menjadi dua oleh Sarasin, yaitu Bahasa Aceh dan bahasa-bahasa di pedalaman Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Kelompok kedua adalah bahasa Batak, Melayu standar, Jawa, dan Bali. Kelompok bahasa kedua itu mempunyai hubungan dengan bahasa Malagi di Madagaskar dan Tagalog di Luzon. Persebaran geografis kedua bahasa itu menunjukkan bahwa penggunanya adalah pelaut-pelaut pada masa dahulu yang sudah mempunyai peradaban lebih maju. Di samping bahasa-bahasa itu, juga terdapat bahasa Halmahera Utara dan Papua yang digunakan di pedalaman Papua dan bagian utara Pulau Halmahera.
Dalam bahasan di atas kita telah membahas tentang teori asal usul nenek moyang Indonesia. Selama ini kita ketahui bahwa Proto Melayu, Deutero Melayu, dan Melanesoid tidak menunjukkan hubungan geneologis, bahkan ada yang berpendapat keberadaan mereka ada karena pergantian populasi. Namun berdasarkan penelitian baru yang melibatkan ahli arkeologi, genetika, dan bahasa, ternyata asal-usul nenek moyang Indonesia berasal dari persamaan budaya, bahasa, dan dua atau lebih populasi keturunan sehingga menghasilkan teori baru yaitu Teori Out of Africa dan Out of Taiwan.

5. Teori Out of Africa dan Out of Taiwan

Dalam tinjauan akademis yang komprehensif tentang asal-usul nenek moyang Indonesia, maka terlihatlah bahwa betapa eratnya keterkaitan dinamika sejarah Melanesia dengan bumi Nusantara. Mungkin kita akan bertanya, siapakah yang dimaksud
dengan Melanesia itu? Kata Melanesia diperkenalkan pertama kali oleh Dumont d’Urville seorang penjelajah berkebangsaan Perancis untuk menyebut wilayah etnik penduduk yang berkulit hitam dan berambut keriting di kawasan Pasifik, dalam pertemuan Geography Society of Paris pada tanggal 27 Desember 1831.
Menurut Harry Truman, Pada sekitar 60.000 tahun yang lalu ada sekelompok orang yang dengan semangat keberaniannya melintasi selat-selat dan laut hingga mencapai Kepulauan Nusantara. Mereka adalah Homo sapiens yang dalam buku literatur disebut sebagai Manusia Modern Awal. Ketika berangkat dari tanah asalnya yaitu Afrika, mereka tidak mempunyai tempat tujuan. Teori ini oleh para ahli disebut sebagai Teori Out of Africa. Dalam pikiran mereka yang ada hanyalah, bagaimana mereka dapat menemukan ladang kehidupan baru yang lebih menjanjikan. Mereka beruntung dalam pengembaraannya segala rintangan alam dapat diatasi, dari generasi ke genarasi mereka mencapai wilayah-wilayah penghidupan yang baru. Di tempat baru itu mereka mengeksplorasi sumberdaya lingkungan yang tersedia untuk mempertahankan hidup. Mereka meramu dari berbagai umbi-umbian dan buah-buahan yang ada di wilayah itu. Hewan-hewan juga diburu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untuk keperluan itu maka dibuatlah peralatan dari batu dan bahan organik, seperti kayu dan bambu.
Waktu terus berlalu, perubahan alam karena iklim dan geografi juga populasi yang terus bertambah, mendorong mereka untuk mencari wilayah hunian baru. Perlahan tetapi pasti mereka mengembara mencari tempat hunian baru. Mereka kemudian menyebar hingga ke wilayah timur kepulauan Indonesia, bahkan meluas hingga mencapai Melanesia Barat dan Australia, wilayah geografi hunian mereka pun semakin meluas.
Pengalaman yang diperoleh selama mereka mengembara itu menjadi pengetahuan, yang selanjutnya pengetahuan itu diturunkan dari generasi ke generasi. Kemampuan berlayar dan membuat rakit, serta teknik-teknik membuat alat transportasi laut yang lebih kuat dan nyaman. Begitu pula dengan pengetahuan perbintangan untuk menunjukkan arah saat berlayar. Pengalaman untuk menaklukkan ekosistem daratan, sehingga mereka mampu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ekologi yang berbeda-beda. Pengalaman itu menjadi pengetahuan-pengetahuan baru untuk memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan yang baru.
Pada saat berakhirnya zaman es sekitar 12.000 tahun yang lalu, menyebabkan perubahan besar dalam berbagai hal. Kenaikan muka laut yang dratis mendorong penduduk di kepulauan Indonesia melakukan persebaran ke berbagai arah. Persebaran mereka ini juga telah merubah peta hunian mereka. Kondisi alam yang saat itu mendukung, semakin meyakinkan mereka untuk menetap ditempat hunian yang baru itu. Alam tropis dengan biodiversitasnya menyediakan kebutuhan hidup sehingga populasi terus meningkat.
Para ahli menggolongkan mereka sebagai Ras Australomelanesid. Mereka kemudian hidup menyebar ke gua-gua. Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, kebutuhan nenek moyang kita ini juga semakin meningkat. Teknologi untuk mempermudah kehidupan mereka juga semakin berkembang. Peralatan dari batu semakin beragam, peralatan dari bahan organik pun semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan mereka. Keanekaragaman dalam peralatan manusia pada saat itu semakin mendorong produktivitas hingga semakin membawa kemajuan dalam berbagai bidang. Kemajuan dalam bidang seni pada saat itu ditandainya terdapat lukisan-lukisan cadas yang terdapat di dinding gua-gua yang memanifestasikan kekayaan alam pikiran. Kepercayaan pada kehidupan sesudah mati juga terkonsepsi dalam perilaku kubur terhadap orang yang meninggal.
Kemudian pada sekitar 4000 – 3000 tahun yang lalu, kepulauan Indonesia kedatangan orang-orang baru. Mereka ini membawa budaya baru yang seringkali disebut dengan budaya Neolitik. Budaya ini sering dicirikan dengan kehidupan yang menetap dan domestikasi hewan dan tanaman. Pendatang yang berbicara dengan tutur Austronesia ini diperkirakan datang dari Taiwan dengan kedatangan awal Sulawesi juga kemungkinan Kalimantan. Dari sinilah mereka kemudian menyebar ke berbagai pelosok Kepulauan Nusantara. Pendatang yang lain tampaknya berasal dari Asia Tenggara Daratan. Mereka menggunakan bahasa Austroasiatik. Mereka ini dapat mencapai Kepulauan Nusantara bagian barat melalui Malaysia. Teori inilah yang seringkali oleh para ahli disebut sebagai teori Out of Taiwan. Pertemuan para pendatang ini dengan populasi Australomelanesia pun tak dapat dielakkan, sehingga terjadi kohabitasi. Adaptasi dan interaksi diantara sesama pun terjadi hingga mereka melakukan perkawinan campuran hingga terjadi interaksi budaya dan dalam beberapa hal silang genetika pun tak dapat dihindari. Proses interaksi yang berlanjut memperlihatkan keturunan Ras Australomelanesid yang sekarang lebih dikenal sebagai populasi Melanesia.
Pendapat Harry Truman tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati Sudoyo. Dalam studi genetika terbaru menunjukkan bahwa, genetika manusia Indonesia saat ini kebanyakan adalah campuran, berasal dari dua atau lebih populasi moyang. Secara gradual, presentasi genetikan Austronesia lebih dominan di bagian timur Indonesia. Sekalian kecil porsinya, genetika Papua ada hampir di seluruh wilayah bagian barat Indonesia. Hal ini menunjukkan, bahwa di masa lalu terjadi percampuran genetika dibandingkan penggantian populasi.
Demikian pula dari sudut penggunaan bahasa, kepulauan Indonesia yang mempunyai lebih dari 700 etnis, dengan 706 bahasa daerah dapat digolongkan dalam dua bagian, yaitu penutur Austronesia dan non-Austronesia atau lebih sering disebut sebagai Papua. Multamia RMT Lauder menjelaskan bahwa telah terjadi pinjam-meminjam leksikal antara bahasa-bahasa non-Austronesia dengan Austronesia. Diperkirakan lebih dari 30 % dari semua bahasa yang hidup saat ini adalah bahasa Non-Austronesia. Rumpun bahasa Austronesia cenderung ditemukan di daerah pesisir, tetapi ini tidak selalu. Bahasa Austronesia juga dapat ditemukan di daerah pedalaman Papua Nugini.
Gambaran itu menunjukkan adanya pola migrasi yang kompleks tetapi jelas, yaitu dari barat ke timur. Berdasarkan data itu nyatalah bahwa hubungan Austronesia dan Non-Austronesia bagaikan sebuah kain tenun yang benang-benangnya saling terjalin indah.
Coba kamu identifikasikan peninggalan sejarah berupa benda dan karya seni yang dapat dikategorikan sebagai tinggalan masa proto sejarah. Adakah manfaat dari peninggalan tersebut bagi kehidupan manusia sekarang? Menurut pendapat kamu, bagaimana peninggalan tersebut bisa menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia bahkan sampai ke luar wilayah Indonesia?
Untuk mengerjakan soal di atas maka kamu dapat melakukan beberapa tahapan sebagai berikut:
1.      Identifikasi permasalahan yang menurut kamu menarik untuk diteliti, yaitu merumuskan masalah (biasanya dalam bentuk kalimat pertanyaan), seperti dimanakah manusia pra-aksara biasanya tinggal? Bagaimana mereka bisa mempertahankan kehidupannya? dan lain-lain sebagainya, kamu dapat mendiskusikan dengan teman-teman kamu!
2.      Setelah itu carilah sumber-sumber yang menjelaskan tentang permasalahan yang akan diteliti. Caranya dengan mencari dari internet, buku-buku bacaan, kliping koran, foto-foto, ilustrasi dan wawancara dengan tokoh masyarakat yang kamu anggap mengetahui permasalahan.
3.      Setelah kamu temukan sumber-sumber tersebut, lakukan perbandingan antara sumber yang satu dengan yang lain untuk mencari kebenaran. Jika dari bacaan terdapat dua atau lebih sumber yang menyatakan hal yang sama maka bisa saja kita anggap sumber tersebut mendekati kebenaran.
4.      Apabila di daerah tempat tinggal kamu terdapat peninggalan sejarah yang diduga tinggalan masa pra-aksara, kamu bersama teman-teman dapat mengunjungi situs tersebut untuk meyakinkan pendapat kamu. Setelah itu barulah kamu rumuskan dalam bentuk tulisan yang runtut sekitar 3 – 5 lembar tulisan.



Share Post:
Mengenal Manusia Purba Edisi KURTILAS

Yogi Iskandar

9/02/2018

Situs Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, Sangiran telah menjadi sentral bagi kehidupan man...

Mengenal Manusia Purba Edisi KURTILAS


Situs Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, Sangiran telah menjadi sentral bagi kehidupan manusia purba. Dari Sangiran kita mengenal beberapa jenis manusia purba di Indonesia.
1.    Sangiran
Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan bahwa Sangiran merupakan sebuah kompleks situs manusia purba dari Kala Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di Indonesia, dan bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs Sangiran itu mempunyai luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat. Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar di pusat kubah akibat adanya erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai dengan perbukitan yang bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil manusia purba dan binatang, termasuk artefak. Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada musim kemarau.
Sangiran  pertama  kali  ditemukan  dan  diteliti  penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seolah- olah terlupakan dalam waktu yang lama. Eugene Dubois juga pernah datang ke Sangiran akan tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di  wilayah  Sangiran. Pada  1934,  Gustav  Heindrich Ralph von Koeningswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang terletak sekitar dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran semenjak penemuan von Koenings wald, situs sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan dengan penemuan penemuan fosil Homo Erectus secara sporadis dan bersinambungan homo erectus adalah takson paling penting dalam sejarah manusia sebelum masuk  pada tahap homo sapiens, manusia moderen. fosil Homo erectus yang terbaik di Sangiran. Ia ditemukan di endapan pasir fluvio-volkanik di Pucang, bagian wilayah Sangiran. Fosil itu merupakan dua di antara Homo erectus di dunia yang masih lengkap dengan mukanya. Satu ditemukan di Sangiran dan satu lagi di Afrika.
2.       Trinil, ngawi, jawa timur
       Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois mengawali temuan Pithecantropus erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di daerah Pilangkenceng, Madiun, Jawa Timur. Desa itu berada tepat di tengah hutan jati di lereng selatan Pegunungan Kendeng. Pada saat Dubois meneliti dua horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus ditemukan sebuah fragmen rahang yang pendek dan sangat kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa. Prageraham itu menunjukkan ciri gigi manusia bukan gigi kera, sehingga diyakini bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang hominid. Pithecantropus itu kemudian dikenal dengan Pithecantropus A. Trinil adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum von Koeningswald menemukan Sangiran pada 1934. Ekskavasi yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil telah membawa penemuan sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan. Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo. Dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan beberapa buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah berjalan tegak.
Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di bagian belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian belakang kepala terlihat bentuk yang meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah mencapai usia dewasa.
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan manusia purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; dan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Temuan berupa tengkorak anak-anak berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang membantu penelitian Koeningswald dan Duyfjes perlu untuk dipertimbangkan. Temuan itu menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para ilmuwan. Metode pengujian penanggalan potasium-argon yang digunakan oleh Tengku Jakob dan Curtis terhadap batu apung yang terdapat disekitar fosil tengkorak itu menunjukkan angka 1,9 atau kurang lebih 0,4 juta tahun. Pengujian juga dilakukan dengan mengambil sampel endapan batu apung dari dalam tengkorak dan menunjukkan angka 1,81 juta tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan tersebut menjadi perdebatan para ahli dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.
Bila penanggalan itu benar, maka tengkorak anak Homo erectus dari Perning, Mojokerto ini merupakan individu Homo erectus tertua di Indonesia. Adakah diantara kamu yang tertarik untuk melakukan pengujian ini?
Temuan Homo erectus juga ditemukan di Ngandong, yaitu sebuah desa di tepian Bengawan Solo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan volume otak rata-rata 1.100 cc. Ciri-ciri ini menunjukkan Homo erectus ini lebih maju bila dibandingkan dengan Homo erectus yang ada di Sangiran. Manusia Ngandong diperkirakan berumur antara 300.000-100.000 tahun.
1)    Jenis Meganthropus
Jenis manusia purba ini terutama berdasarkan penelitian von Koeningswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil rahang manusia yang berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para ahli menamakan jenis manusia ini dengan sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa. Jenis manusia purba ini memiliki ciri rahang yang kuat dan badannya tegap. Diperkirakan makanan jenis manusia ini adalah tumbuh-tumbuhan. Masa hidupnya diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
2)    Jenis Pithecanthropus
Jenis manusia ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di dekat Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi masih terlihat tanda-tanda kera. Oleh karena itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya manusia kera yang berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus mojokertensis. Jenis manusia purba yang juga terkenal sebagai rumpun Homo erectus ini paling banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis manusia purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.
3)    Jenis Homo
Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis manusia Homo ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi juga masih menonjol, sekalipun tidak semenonjol jenis Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan manusia sekarang. Hidup dan perkembangan jenis manusia ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu. Tempat-tempat penyebarannya tidak hanya di Kepulauan Indonesia tetapi juga di Filipina dan cina Selatan Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fisik, volume otak maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan manusia modern. Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan ‘manusia bijak’ karena telah lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan alam. Bagaimanakah mereka muncul ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia hingga saat ini? Para ahli paleoanthropologi dapat melukiskan perbedaan morfologis antara Homo sapiens dengan pendahulunya, Homo erectus. Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya karena tulang belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo erectus.
Hal ini mengindikasikan bahwa secara fisik Homo sapiens jauh lebih lemah dibanding sang pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis maupun biometriks Homo sapiens menunjukkan karakter yang lebih berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan Homo erectus. Sebagai misal, karakter evolutif yang paling signifikan adalah bertambahnya kapasitas otak. Homo sapiens mempunyai kapasitas otak yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yang jauh lebih bundar dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang mempunyai tengkorak panjang dan rendah, dengan kapasitas otak 1.000 cc.
Segi-segi morfologis dan tingkatan kepurbaannya menunjukkan ada perbedaan yang sangat nyata antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut. Homo sapiens akhirnya tampil sebagai spesies yang sangat tangguh dalam beradaptasi dengan lingkungannya, dan dengan cepat menghuni berbagai permukaan dunia ini.
Berdasarkan bukti-bukti penemuan, sejauh ini manusia modern awal di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara paling tidak telah hadir sejak 45.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, kehidupan manusia modern ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu (i) kehidupan manusia modern awal yang kehadirannya hingga akhir zaman es (sekitar 12.000 tahun lalu), kemudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan manusia modern yang lebih belakangan, dan berdasarkan karakter fisiknya dikenal sebagai ras Austromelanesoid. (iii) mulai di sekitar 4000 tahun lalu muncul penghuni baru di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia. Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk manusia ini tergolong dalam ras Mongolid.
Beberapa spesimen (penggolongan) manusia Homo sapiens dapat dikelompokkan sebagai berikut,
a. Manusia Wajak
Manusia Wajak (Homo wajakensis) merupakan satu-satunya temuan di Indonesia yang untuk sementara dapat disejajarkan perkembangannya dengan manusia modern awal dari akhir Kala Pleistosen. Pada tahun 1889, manusia Wajak ditemukan oleh B.D. van Rietschoten di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat laut Campurdarat, dekat Tulungagung, Jawa Timur. Sartono Kartodirjo (dkk) menguraikan tentang temuan itu, berupa tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas leher. Temuan Wajak itu adalah Homo sapiens. Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur kening nyata. Tengkorak ini diperkirakan milik seorang perempuan berumur 30 tahun dan mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yang sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga busur kening yang nyata. Pada tengkorak laki-laki perlekatan otot sangat nyata. Langit-langit juga dalam. Rahang bawah besar dengan gigi-gigi yang besar pula. Kalau menutup gigi muka atas mengenai gigi muka bawah. Dari tulang pahanya dapat diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid. Diperkirakan dari manusia Wajak inilah sub-ras Melayu Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid sekarang. Hal itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya yang sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka ke belakang. Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh karena sangat datar dan pipinya sangat menonjol ke samping. Beberapa ciri lain juga memperlihatkan ciri-ciri ke dua ras di atas.
Temuan Wajak menunjukkan pada kita bahwa sekitar 40.000 tahun yang lalu Indonesia sudah didiami oleh Homo sapiens yang rasnya sukar dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat sekarang, sehingga manusia Wajak dapat dianggap sebagai suatu ras tersendiri. Manusia Wajak tidak langsung berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin tahapan Homo neanderthalensis yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dari neanderthalensis di tempat Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yang mungkin berevolusi ke arah Homo yang ditemukan di Indonesia.
Manusia Wajak itu tidak hanya mendiami Kepulauan Indonesia bagian Barat saja, akan tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia bagian Timur. Ras Wajak ini merupakan penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yang kemudian kita kenal sekarang. Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih dekat dengan sub-ras Melayu-Indonesia. Hubungannya dengan ras Australoid dan Melanesoid sekarang lebih jauh, oleh karena kedua sub-ras ini baru mencapai bentuknya yang sekarang di tempatnya yang baru. tetapi memang mungkin juga bahwa ras Austromelanesoid yang dahulu berasal dari ras Wajak
b. Manusia Liang Bua
Pengumuman tentang penemuan manusia Homo floresiensis tahun 2004 menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Sisa-sisa manusia ditemukan di sebuah gua Liang Bua oleh tim peneliti gabungan Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman di Flores. Liang Bua bila diartikan secara harfiah merupakan sebuah gua yang dingin. Sebuah gua yang sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang datar, merupakan tempat bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa pra-aksara. Hal itu bisa dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang berada di sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya. Liang Bua merupakan sebuah temuan manusia modern awal dari akhir masa Pleistosen di Indonesia yang menakjubkan yang diharapkan dapat menyibak asal usul manusia di Kepulauan Indonesia.
Manusia Liang Bua ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood bersama-sama dengan Tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada bulan September 2003 lalu. Temuan itu dianggap sebagai penemuan spesies baru yang kemudian diberi nama Homo floresiensis, sesuai dengan tempat ditemukannya fosil Manusia Liang Bua.
Pada tahun 1950-an, sebenarnya Manusia Liang Bua telah memberikan data-data tentang adanya kehidupan pra-aksara. Saat Th. Verhoeven lebih dahulu menemukan beberapa fragmen tulang manusia di Liang Bua, ia menemukan tulang iga yang berasosiasi dengan berbagai alat serpih dan gerabah. Tahun 1965, ditemukan tujuh buah rangka manusia beserta beberapa bekal kubur yang antara lain berupa beliung dan barang-barang gerabah. Diperkirakan Liang Bua merupakan sebuah situs neolitik dan paleometalik. Manusia Liang Bua mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan rendah, berukuran kecil, dengan volume otak 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada jauh di bawah Homo erectus (1.000 cc), manusia modern Homo sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada di bawah volume otak simpanse (450 cc).
Pada tahun 1970, R.P Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan penelitian beberapa kerangka manusia yang ditemukan di lapisan atas, temuan itu sebanding dengan temuan-temuan rangka manusia sebelumnya. Hasil temuan itu menunjukkan bahwa Manusia Liang Bua secara kronologis menunjukkan hunian dari fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, dan Paleolitik.  Menurut Teuku Jacob, Manusia Liang Bua secara kultural berada dalam konteks zaman Mesolitik, dengan ciri Australomelanesid, yaitu bentuk tengkorak yang memanjang. Tahun 2003 diadakan penggalian oleh R.P. Soejono dan Mike J. Morwood, bekerjasama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan University of New England, Australia. Penggalian itu menghasilkan temuan berupa sisa manusia tidak kurang dari enam individu yang menunjukkan aspek morfologis dan postur yang sejenis dengan Liang Bua 1, yang mempunyai kesamaan dengan alat-alat batu dan sisa-sisa binatang komodo dan spesies kerdil gajah purba jenis stegodon. Temuan itu sempat menjadi bahan perdebatan mengenai status taksonominua, benarkah Manusia Liang Bua itu termasuk dalam spesies baru, yaitu Homo florensiensis, atau sebagai satu jenis spesies yang telah ada di kalangan genus Homo?
Dalam pengamatan yang lebih mendalam terhadap manusia Flores itu, ternyata ada percampuran antara karakter kranial yang cukup menonjol antara karakter Homo erectus dan Homo sapiens. Seluruh karakter kranio-fasial dari Manusia Liang Bua 1 (LB1) dan Liang Bua 6 (LB6) menunjukkan dominasi karakter arkaik yang sering ditemukan pada Homo erectus, walaupun beberapa aspek modern Homo sapiens juga sangat terlihat jelas. Namun demikian, karakter Homo sapiens hendaknya dilihat sebagai atribut tingkatan evolusi dalam spesies ini. Bila dikaitkan dengan masa hidup Manusia Liang Bua sekitar 18.000 tahun yang lalu, maka LB 1 dan LB 6 seharusnya dipandang sebagai satu dari variasi Homo sapiens.
3. Perdebatan Antara Pithecantropus ke Homo Erectus
Penemuanfosil fosil Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dengan teori evolusi manusia yang dituliskan oleh Charles Darwin. Harry Widiyanto menuliskan perdebatan itu seperti berikut. Fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan pada tahun 1894 dalam berbagai majalah ilmiah melahirkan perdebatan. Dalam publikasinya itu Dubois menyatakan bahwa, menurut teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus adalah peralihan kera ke manusia. Kera merupakan moyang manusia. Pernyatakan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan, apakah benar atap tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi berukuran besar, dan tulang paha yang berciri modern itu berasal dari satu individu? Sementara orang menduga bahwa tengkorak tersebut merupakan tengkorak seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik Pongo sp., dan tulang pahanya milik manusia modern? Lima puluh tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dari gigi Pongo Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang berukuran besar, akar gigi yang kuat dan terbuka, dentikulasi yang tidak individual, dan permukaan occulsal yang sangat berkerut-kerut.
Perdebatan itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan penemuan tersebut dalam seminar internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda, dan dalam pameran publik British Zoology Society di London. Setelah seminar dan pameran itu banyak ahli yang tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan semua hasil temuannya itu, hingga pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh Franz Weidenreich. Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian ilmu paleoantropologi telah lahir di Indonesia.
Tahun 1920-an merupakan periode yang luar biasa bagi teori evolusi manusia. Teori itu terus menjadi perdebatan, para ahli paleontologi berbicara tentang ontogenesa dan heterokronis. Seorang teman Dubois, Bolk melakukan formulasi teori foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois telah melakukan penemuan fosil missing-link. Sementara Bolk menemukan modalitas evolusi dengan menafsirkan bahwa peralihan dari kera ke manusia terjadi melalui perpanjangan perkembangan fetus. Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang sangat terkenal, bahwa filogenesa dan ontogenesa sama sekali tidak dapat dipisahkan. Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar sejak tahun 1927. Penemuan situs Zhoukoudian di dekat Beijing, menghasilkan sejumlah besar fosil-fosil manusia, yang diberi nama Sinanthropus pekinensis. Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha tersebut menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus erectus.           Seorang ahli biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan memisahkan Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda dengan manusia modern. Pithecanthropus adalah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah perbedaan itu hanya perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus harus diletakan dalam genus Homo, dan untuk mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo erectus. Maka berakhirlah debat panjang mengenai Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan manusia yang berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai hominid dari Jawa, bagian dari Homo erectus


Share Post:

Yogi Iskandar


Yogi Iskandar

Yogi Iskandar

Sponsor By:

SUBSCRIBER


SUBSCRIBER

Iklan_Foot