Kumpulan Proposal Usaha Baru
Yogi Iskandar |
Asal Usul dan Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Yogi Iskandar
9/02/2018
Menurut Sarasin bersaudara, penduduk asli Kepulauan Indonesia adalah ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Mereka mulanya tinggal di Asi...
Asal Usul dan Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Menurut Sarasin bersaudara, penduduk asli
Kepulauan Indonesia adalah ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Mereka
mulanya tinggal di Asia bagian tenggara. Ketika zaman es mencair dan air laut
naik hingga terbentuk Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sehingga memisahkan
pegunungan vulkanik Kepulauan Indonesia dari daratan utama. Beberapa penduduk
asli Kepulauan Indonesia tersisa dan menetap di daerah-daerah pedalaman,
sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk pendatang. Penduduk asli itu
disebut sebagai suku bangsa Vedda oleh Sarasin. Ras yang masuk dalam kelompok
ini adalah suku bangsa Hieng di Kamboja, Miaotse, Yao-Jen di Cina, dan Senoi di
Semenanjung Malaya.
Beberapa suku
bangsa seperti Kubu, Lubu, Talang Mamak yang tinggal di Sumatra dan Toala di
Sulawesi merupakan penduduk tertua di Kepulauan Indonesia. Mereka mempunyai
hubungan erat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan orang Vedda yang saat
ini masih terdapat di Afrika, Asia Selatan, dan Oceania. Vedda itulah manusia
pertama yang datang ke pulau-pulau yang sudah berpenghuni. Mereka membawa
budaya perkakas batu. Kedua ras Melanesia dan Vedda hidup dalam budaya
mesolitik.
Pendatang berikutnya membawa budaya baru yaitu
budaya neolitik. Para pendatang baru itu jumlahnya jauh lebih banyak daripada
penduduk asli. Mereka datang dalam dua tahap. Mereka itu oleh Sarasin disebut
sebagai Proto Melayu dan Deutro Melayu. Kedatangan mereka terpisah diperkirakan
lebih dari 2.000 tahun yang lalu.
1. Proto
Melayu
Proto Melayu diyakini sebagai nenek moyang orang
Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai pulau-pulau paling timur
di Pasifik. Mereka diperkirakan datang dari Cina bagian selatan. Ras Melayu ini
mempunyai ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecoklatan-coklatan, dan bermata
sipit. Dari Cina bagian selatan (Yunan) mereka bermigrasi ke Indocina dan Siam,
kemudian ke Kepulauan Indonesia. Mereka itu mula-mula menempati pantai-pantai
Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Ras Proto Melayu membawa
peradaban batu di Kepulauan Indonesia. Ketika datang para imigran baru, yaitu
Deutero Melayu (Ras Melayu Muda). Mereka berpindah masuk ke pedalaman dan
mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat huniannya. Ras Proto Melayu
itu pun kemudian mendesak keberadaan penduduk asli. Kehidupan di dalam
hutan-hutan menjadikan mereka terisolasi dari dunia luar, sehingga memudarkan
peradaban mereka. Penduduk asli dan ras proto melayu itu pun kemudian melebur.
Mereka itu kemudian menjadi suku bangsa Batak, Dayak, Toraja, Alas, dan Gayo.
Kehidupan
mereka yang terisolasi itu menyebabkan ras Proto Melayu sedikit mendapat
pengaruh dari kebudayaan Hindu maupun Islam dikemudian hari. Para ras Proto
Melayu itu kelak mendapat pengaruh Kristen sejak mereka mengenal para penginjil
yang masuk ke wilayah mereka untuk memperkenalkan agama Kristen dan peradaban
baru dalam kehidupan mereka. Persebaran suku bangsa Dayak hingga ke Filipina Selatan,
Serawak, dan Malaka menunjukkan rute perpindahan mereka dari Kepulauan
Indonesia. Sementara suku bangsa Batak yang mengambil rute ke barat menyusuri
pantai-pantai Burma dan Malaka Barat. Beberapa kesamaan bahasa yang digunakan
oleh suku bangsa Karen di Burma banyak mengandung kemiripan dengan bahasa
Batak.
2. Deutero
Melayu
Deutero Melayu merupakan ras yang datang dari
Indocina bagian utara.
Mereka membawa budaya baru berupa perkakas dan senjata besi di Kepulauan
Indonesia, atau Kebudayaan Dongson. Mereka seringkali disebut juga orang-orang
Dongson. Peradaban mereka lebih tinggi daripada ras Proto Melayu. Mereka dapat
membuat perkakas dari perunggu. Peradaban mereka ditandai dengan keahlian
mengerjakan logam dengan sempurna. Perpindahan mereka ke Kepulauan Indonesia
dapat dilihat dari rute persebaran alat-alat yang mereka tinggalkan di beberapa
kepulauan di Indonesia, yaitu berupa kapak persegi panjang. Peradaban ini dapat
dijumpai di Malaka, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara
Timur.
Dalam bidang pengolahan tanah mereka mempunyai
kemampuan untuk membuat irigasi pada tanah-tanah pertanian yang berhasil mereka
ciptakan, dengan membabat hutan terlebih dahulu. Ras Deutero Melayu juga
mempunyai peradaban pelayaran lebih maju dari pendahulunya karena petualangan
mereka sebagai pelaut dibantu dengan penguasaan mereka terhadap ilmu
perbintangan. Perpindahan ras Deutero Melayu juga menggunakan
jalur pelayaran laut. Sebagian
dari ras Deutero Melayu ada yang mencapai Kepulauan Jepang, bahkan kelak ada
yang hingga sampai Madagaskar.
Kedatangan ras
Deutero Melayu di Kepulauan Indonesia makin lama semakin banyak. Mereka pun
kemudian berpindah mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat hunian
baru. Pada akhirnya Proto dan Deutero Melayu membaur dan selanjutnya menjadi
penduduk di Kepulauan Indonesia. Pada masa selanjutnya mereka sulit untuk
dibedakan. Proto Melayu meliputi penduduk di Gayo dan Alas di Sumatra bagian utara,
serta Toraja di Sulawesi. Sementara itu, semua penduduk di Kepulauan Indonesia,
kecuali penduduk Papua dan yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua, adalah
ras Deutero Melayu.
3. Melanesoid
Ras lain yang terdapat di Kepulauan Indonesia adalah ras Melanesoid.
Mereka tersebar di lautan Pasifik di pulau-pulau yang letaknya sebelah Timur
Irian dan benua Australia. Di Kepulauan Indonesia mereka tinggal di Papua
Barat, Ambon, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Bersama dengan
Papua-Nugini dan Bismarck, Solomon, New Caledonia dan Fiji, Vanuatu, mereka
tergolong rumpun Melanesoid.
Pada mulanya
kedatangan Bangsa Melanesoid di Kepulauan Indonesia berawal saat zaman es
terakhir, yaitu tahun 70.000 SM. Pada saat itu Kepulauan Indonesia belum
berpenghuni. Ketika suhu turun hingga mencapai kedinginan maksimal, air laut
menjadi beku. Permukaan laut menjadi lebih rendah 100 m dibandingkan permukaan
saat ini. Pada saat itulah muncul pulau-pulau baru. Adanya pulau-pulau itu
memudahkan mahkluk hidup berpindah dari Asia menuju kawasan Oseania.
Bangsa Melanesoid melakukan perpindahan ke timur
hingga ke Papua, selanjutnya ke Benua Australia, yang sebelumnya merupakan satu
kepulauan yang terhubung dengan Papua. Bangsa Melanesoid saat itu hingga mencapai 100 ribu
jiwa meliputi wilayah Papua dan Australia. Peradaban bangsa Melanesoid dikenal
dengan paleotikum.
Pada saat masa
es berakhir dan air laut mulai naik lagi pada tahun 5000 S.M, kepulauan Papua
dan Benua Australia terpisah seperti yang dapat kita lihat saat ini. Pada saat
itu jumlah penduduk mencapai 0,25 juta dan pada tahun 500 S.M. mencapai 0,5
jiwa.
Asal mula
bangsa Melanesia, yaitu Proto Melanesia merupakan penduduk pribumi di Jawa.
Mereka adalah manusia Wajak yang tersebar ke timur dan menduduki Papua, sebelum
zaman es berakhir dan sebelum kenaikan permukaan laut yang terjadi pada saat
itu. Di Papua manusia Wajak hidup berkelompok-kelompok kecil di sepanjang
muara-muara sungai. Mereka hidup dengan menangkap ikan di sungai dan meramu tumbuh-tumbuhan
serta akar-akaran, serta berburu di hutan belukar. Tempat tinggal mereka berupa
perkampungan-perkampungan yang terbuat dari bahan-bahan yang ringan.
Rumah-rumah itu sebenarnya hanya berupa kemah atau tadah angin, yang sering
didirikan menempel pada dinding gua yang besar. Kemah-kemah dan tadah angin itu
hanya digunakan sebagai tempat untuk tidur dan berlindung, sedangkan aktifitas
lainnya dilakukan di luar rumah.
Bangsa Proto
Melanesoid terus terdesak oleh bangsa Melayu. Mereka yang belum sempat mencapai
kepulauan Papua melakukan percampuran dengan ras baru itu. Percampuran bangsa
Melayu dengan Melanesoid menghasilkan keturunan Melanesoid-Melayu, saat ini
mereka merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
4. Negrito
dan Weddid
Sebelum kedatangan
kelompok-kelompok Melayu tua dan muda, negeri kita sudah terlebih dulu kemasukkan
orang-orang Negrito dan Weddid. Sebutan Negrito diberikan oleh orang-orang
Spanyol karena yang mereka jumpai itu berkulit hitam mirip dengan jenis-jenis
Negro. Sejauh mana kelompok Negrito itu bertalian darah dengan jenis-jenis Negro yang terdapat di Afrika
serta kepulauan Melanesia (Pasifik), demikian pula bagaimana sejarah
perpindahan mereka, belum banyak diketahui dengan pasti.
Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dengan
kepala mesocephal dan letak mata yang dalam sehingga nampak seperti berang;
kulit mereka coklat tua dan tinggi rata-rata lelakinya 155 cm. Weddid artinya
jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di Pulau Ceylon (Srilanka). Persebaran
orang-orang Weddid di Nusantara cukup luas, misalnya di Palembang dan Jambi
(Kubu), di Siak (Sakai) dan di Sulawesi pojok tenggara (Toala, Tokea dan
Tomuna).
Periode migrasi
itu berlangsung berabad-abad, kemungkinan mereka berasal dalam satu kelompok
ras yang sama dan dengan budaya yang sama pula. Mereka itulah nenek moyang
orang Indonesia saat ini.
Sekitar 170 bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia adalah bahasa
Austronesia (Melayu-Polinesia). Bahasa itu kemudian dikelompokkan menjadi dua
oleh Sarasin, yaitu Bahasa Aceh dan bahasa-bahasa di pedalaman Sumatra,
Kalimantan, dan Sulawesi. Kelompok kedua adalah bahasa Batak, Melayu standar,
Jawa, dan Bali. Kelompok bahasa kedua itu mempunyai hubungan dengan bahasa
Malagi di Madagaskar dan Tagalog di Luzon. Persebaran geografis kedua bahasa
itu menunjukkan bahwa penggunanya adalah pelaut-pelaut pada masa dahulu yang
sudah mempunyai peradaban lebih maju. Di samping bahasa-bahasa itu, juga
terdapat bahasa Halmahera Utara dan Papua yang digunakan di pedalaman Papua dan
bagian utara Pulau Halmahera.
Dalam
bahasan di atas kita telah membahas tentang teori asal usul nenek moyang
Indonesia. Selama ini kita ketahui bahwa Proto Melayu, Deutero Melayu, dan
Melanesoid tidak menunjukkan hubungan geneologis, bahkan ada yang berpendapat
keberadaan mereka ada karena pergantian populasi. Namun berdasarkan penelitian
baru yang melibatkan ahli arkeologi, genetika, dan bahasa, ternyata asal-usul
nenek moyang Indonesia berasal dari persamaan budaya, bahasa, dan dua atau
lebih populasi keturunan sehingga menghasilkan teori baru yaitu Teori Out of
Africa dan Out of Taiwan.
5. Teori
Out of Africa dan Out of Taiwan
Dalam
tinjauan akademis yang komprehensif tentang asal-usul nenek moyang Indonesia,
maka terlihatlah bahwa betapa eratnya keterkaitan dinamika sejarah Melanesia
dengan bumi Nusantara. Mungkin kita akan bertanya, siapakah yang dimaksud
dengan
Melanesia itu? Kata Melanesia diperkenalkan pertama kali oleh Dumont d’Urville
seorang penjelajah berkebangsaan Perancis untuk menyebut wilayah etnik penduduk
yang berkulit hitam dan berambut keriting di kawasan Pasifik, dalam pertemuan
Geography Society of Paris pada tanggal 27 Desember 1831.
Menurut
Harry Truman, Pada sekitar 60.000 tahun yang lalu ada sekelompok orang yang
dengan semangat keberaniannya melintasi selat-selat dan laut hingga mencapai
Kepulauan Nusantara. Mereka adalah Homo sapiens yang dalam buku literatur
disebut sebagai Manusia Modern Awal. Ketika berangkat dari tanah asalnya yaitu
Afrika, mereka tidak mempunyai tempat tujuan. Teori ini oleh para ahli disebut
sebagai Teori Out of Africa. Dalam pikiran mereka yang ada hanyalah, bagaimana
mereka dapat menemukan ladang kehidupan baru yang lebih menjanjikan. Mereka
beruntung dalam pengembaraannya segala rintangan alam dapat diatasi, dari
generasi ke genarasi mereka mencapai wilayah-wilayah penghidupan yang baru. Di
tempat baru itu mereka mengeksplorasi sumberdaya lingkungan yang tersedia untuk
mempertahankan hidup. Mereka meramu dari berbagai umbi-umbian dan buah-buahan
yang ada di wilayah itu. Hewan-hewan juga diburu untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Untuk keperluan itu maka dibuatlah peralatan dari batu dan bahan
organik, seperti kayu dan bambu.
Waktu
terus berlalu, perubahan alam karena iklim dan geografi juga populasi yang
terus bertambah, mendorong mereka untuk mencari wilayah hunian baru. Perlahan
tetapi pasti mereka mengembara mencari tempat hunian baru. Mereka kemudian
menyebar hingga ke wilayah timur kepulauan Indonesia, bahkan meluas hingga
mencapai Melanesia Barat dan Australia, wilayah geografi hunian mereka pun
semakin meluas.
Pengalaman
yang diperoleh selama mereka mengembara itu menjadi pengetahuan, yang
selanjutnya pengetahuan itu diturunkan dari generasi ke generasi. Kemampuan
berlayar dan membuat rakit, serta teknik-teknik membuat alat transportasi laut yang lebih kuat
dan nyaman. Begitu pula dengan pengetahuan perbintangan untuk menunjukkan arah
saat berlayar. Pengalaman untuk menaklukkan ekosistem daratan, sehingga mereka
mampu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ekologi yang berbeda-beda.
Pengalaman itu menjadi pengetahuan-pengetahuan baru untuk memanfaatkan sumber
daya yang ada di lingkungan yang baru.
Pada
saat berakhirnya zaman es sekitar 12.000 tahun yang lalu, menyebabkan perubahan
besar dalam berbagai hal. Kenaikan muka laut yang dratis mendorong penduduk di
kepulauan Indonesia melakukan persebaran ke berbagai arah. Persebaran mereka
ini juga telah merubah peta hunian mereka. Kondisi alam yang saat itu
mendukung, semakin meyakinkan mereka untuk menetap ditempat hunian yang baru itu.
Alam tropis dengan biodiversitasnya menyediakan kebutuhan hidup sehingga
populasi terus meningkat.
Para
ahli menggolongkan mereka sebagai Ras Australomelanesid. Mereka kemudian hidup
menyebar ke gua-gua. Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, kebutuhan
nenek moyang kita ini juga semakin meningkat. Teknologi untuk mempermudah
kehidupan mereka juga semakin berkembang. Peralatan dari batu semakin beragam,
peralatan dari bahan organik pun semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan
mereka. Keanekaragaman dalam peralatan manusia pada saat itu semakin mendorong
produktivitas hingga semakin membawa kemajuan dalam berbagai bidang. Kemajuan
dalam bidang seni pada saat itu ditandainya terdapat lukisan-lukisan cadas yang
terdapat di dinding gua-gua yang memanifestasikan kekayaan alam pikiran.
Kepercayaan pada kehidupan sesudah mati juga terkonsepsi dalam perilaku kubur
terhadap orang yang meninggal.
Kemudian
pada sekitar 4000 – 3000 tahun yang lalu, kepulauan Indonesia kedatangan
orang-orang baru. Mereka ini membawa budaya baru yang seringkali disebut dengan
budaya Neolitik. Budaya ini sering dicirikan dengan kehidupan yang menetap dan
domestikasi hewan dan tanaman. Pendatang yang berbicara dengan tutur
Austronesia ini diperkirakan datang dari Taiwan dengan kedatangan awal Sulawesi
juga kemungkinan Kalimantan. Dari sinilah mereka kemudian menyebar ke berbagai
pelosok Kepulauan Nusantara. Pendatang yang lain tampaknya berasal dari Asia
Tenggara Daratan. Mereka menggunakan bahasa Austroasiatik. Mereka ini dapat
mencapai Kepulauan Nusantara bagian barat melalui Malaysia. Teori inilah yang
seringkali oleh para ahli disebut sebagai teori Out of Taiwan. Pertemuan para
pendatang ini dengan populasi Australomelanesia pun tak dapat dielakkan,
sehingga terjadi kohabitasi. Adaptasi dan interaksi diantara sesama pun terjadi
hingga mereka melakukan perkawinan campuran hingga terjadi interaksi budaya dan
dalam beberapa hal silang genetika pun tak dapat dihindari. Proses interaksi
yang berlanjut memperlihatkan keturunan Ras Australomelanesid yang sekarang
lebih dikenal sebagai populasi Melanesia.
Pendapat
Harry Truman tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh
Herawati Sudoyo. Dalam studi genetika terbaru menunjukkan bahwa, genetika
manusia Indonesia saat ini kebanyakan adalah campuran, berasal dari dua atau
lebih populasi moyang. Secara gradual, presentasi genetikan Austronesia lebih
dominan di bagian timur Indonesia. Sekalian kecil porsinya, genetika Papua ada
hampir di seluruh wilayah bagian barat Indonesia. Hal ini menunjukkan, bahwa di
masa lalu terjadi percampuran genetika dibandingkan penggantian populasi.
Demikian
pula dari sudut penggunaan bahasa, kepulauan Indonesia yang mempunyai lebih
dari 700 etnis, dengan 706 bahasa daerah dapat digolongkan dalam dua bagian,
yaitu penutur Austronesia dan non-Austronesia atau lebih sering disebut sebagai
Papua. Multamia RMT Lauder menjelaskan bahwa telah terjadi pinjam-meminjam
leksikal antara bahasa-bahasa non-Austronesia dengan Austronesia. Diperkirakan
lebih dari 30 % dari semua bahasa yang hidup saat ini adalah bahasa Non-Austronesia.
Rumpun bahasa Austronesia cenderung ditemukan di daerah pesisir, tetapi ini
tidak selalu. Bahasa Austronesia juga dapat ditemukan di daerah pedalaman Papua
Nugini.
Gambaran
itu menunjukkan adanya pola migrasi yang kompleks tetapi jelas, yaitu dari
barat ke timur. Berdasarkan data itu nyatalah bahwa hubungan Austronesia dan
Non-Austronesia bagaikan sebuah kain tenun yang benang-benangnya saling
terjalin indah.
Coba
kamu identifikasikan peninggalan sejarah berupa benda dan karya seni yang dapat
dikategorikan sebagai tinggalan masa proto sejarah. Adakah manfaat dari
peninggalan tersebut bagi kehidupan manusia sekarang? Menurut pendapat kamu,
bagaimana peninggalan tersebut bisa menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia
bahkan sampai ke luar wilayah Indonesia?
Untuk
mengerjakan soal di atas maka kamu dapat melakukan beberapa tahapan sebagai
berikut:
1.
Identifikasi
permasalahan yang menurut kamu menarik untuk diteliti, yaitu merumuskan masalah
(biasanya dalam bentuk kalimat pertanyaan), seperti dimanakah manusia
pra-aksara biasanya tinggal? Bagaimana mereka bisa mempertahankan kehidupannya?
dan lain-lain sebagainya, kamu dapat mendiskusikan dengan teman-teman kamu!
2.
Setelah
itu carilah sumber-sumber yang menjelaskan tentang permasalahan yang akan
diteliti. Caranya dengan mencari dari internet, buku-buku bacaan, kliping
koran, foto-foto, ilustrasi dan wawancara dengan tokoh masyarakat yang kamu
anggap mengetahui permasalahan.
3. Setelah kamu temukan sumber-sumber tersebut,
lakukan perbandingan antara sumber yang satu dengan yang lain untuk mencari
kebenaran. Jika dari bacaan terdapat dua atau lebih sumber yang menyatakan hal
yang sama maka bisa saja kita anggap sumber tersebut mendekati kebenaran.
4. Apabila di daerah tempat tinggal kamu terdapat
peninggalan sejarah yang diduga tinggalan masa pra-aksara, kamu bersama
teman-teman dapat mengunjungi situs tersebut untuk meyakinkan pendapat kamu.
Setelah itu barulah kamu rumuskan dalam bentuk tulisan yang runtut sekitar 3 –
5 lembar tulisan.
Mengenal Manusia Purba Edisi KURTILAS
Yogi Iskandar
9/02/2018
Situs Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, Sangiran telah menjadi sentral bagi kehidupan man...
Mengenal Manusia Purba Edisi KURTILAS
Situs
Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya
dunia, Sangiran telah menjadi sentral bagi kehidupan manusia purba. Dari
Sangiran kita mengenal beberapa jenis manusia purba di Indonesia.
1.
Sangiran
Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan
bahwa Sangiran merupakan sebuah
kompleks situs manusia purba dari Kala Pleistosen yang paling lengkap dan
paling penting di Indonesia, dan bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat
perkembangan manusia dunia, yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia
sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs
Sangiran itu mempunyai luas delapan kilometer pada arah
utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat. Situs Sangiran
merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar di pusat
kubah akibat adanya erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa itu
diwarnai dengan perbukitan yang bergelombang. Kondisi
deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batuan yang
mengandung fosil-fosil manusia purba dan binatang, termasuk artefak.
Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan
pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada musim
kemarau.
Sangiran pertama
kali ditemukan dan
diteliti penemuan fosil vertebrata
dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seolah- olah terlupakan dalam waktu yang
lama. Eugene Dubois juga pernah datang ke Sangiran akan tetapi
ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di
wilayah Sangiran. Pada 1934,
Gustav Heindrich Ralph von
Koeningswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang terletak sekitar
dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran
semenjak penemuan von Koenings wald, situs sangiran menjadi sangat terkenal
berkaitan dengan penemuan penemuan fosil Homo Erectus secara sporadis dan
bersinambungan homo erectus adalah takson paling penting dalam sejarah manusia
sebelum masuk pada tahap homo sapiens,
manusia moderen. fosil Homo
erectus yang terbaik di Sangiran. Ia
ditemukan di endapan pasir
fluvio-volkanik di Pucang, bagian wilayah Sangiran. Fosil itu merupakan dua di
antara Homo erectus di dunia yang
masih lengkap dengan mukanya. Satu ditemukan di Sangiran dan satu lagi di
Afrika.
2.
Trinil, ngawi, jawa timur
Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois mengawali temuan Pithecantropus
erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di daerah
Pilangkenceng, Madiun, Jawa Timur. Desa itu berada tepat di tengah hutan
jati di lereng selatan Pegunungan Kendeng. Pada saat Dubois meneliti dua
horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus ditemukan sebuah fragmen rahang yang
pendek dan sangat kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa.
Prageraham itu menunjukkan ciri gigi manusia bukan gigi kera,
sehingga diyakini bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang hominid.
Pithecantropus itu kemudian dikenal dengan Pithecantropus A. Trinil adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah
administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah
lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum von Koeningswald menemukan
Sangiran pada 1934. Ekskavasi yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil telah
membawa penemuan sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan.
Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo. Dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan beberapa
buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah berjalan
tegak.
Tengkorak Pithecanthropus
erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak
manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di
bagian belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak
yang belum berkembang. Pada bagian belakang kepala terlihat bentuk yang
meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya
sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah mencapai
usia dewasa.
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan
manusia purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur;
Ngandong, Blora, Jawa Tengah; dan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Temuan
berupa tengkorak anak-anak berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang
membantu penelitian Koeningswald dan Duyfjes perlu untuk dipertimbangkan. Temuan
itu menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para ilmuwan. Metode pengujian
penanggalan potasium-argon yang digunakan oleh Tengku Jakob dan Curtis terhadap
batu apung yang terdapat disekitar fosil tengkorak itu menunjukkan angka 1,9
atau kurang lebih 0,4 juta tahun. Pengujian juga dilakukan dengan mengambil
sampel endapan batu apung dari dalam tengkorak dan menunjukkan angka 1,81 juta
tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan tersebut menjadi perdebatan para ahli
dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.
Bila penanggalan itu benar, maka tengkorak anak
Homo erectus dari Perning, Mojokerto ini merupakan individu Homo erectus tertua di Indonesia. Adakah diantara kamu yang
tertarik untuk melakukan pengujian ini?
Temuan Homo
erectus juga ditemukan di Ngandong, yaitu sebuah desa di tepian Bengawan
Solo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan volume otak rata-rata
1.100 cc. Ciri-ciri ini menunjukkan Homo
erectus ini lebih maju bila dibandingkan dengan Homo erectus yang ada di Sangiran. Manusia Ngandong diperkirakan berumur antara 300.000-100.000 tahun.
1) Jenis Meganthropus
Jenis manusia purba ini terutama berdasarkan
penelitian von Koeningswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil
rahang manusia yang berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para
ahli menamakan jenis manusia ini dengan sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa.
Jenis manusia purba ini memiliki ciri rahang yang kuat dan badannya tegap.
Diperkirakan makanan jenis manusia ini adalah tumbuh-tumbuhan. Masa hidupnya
diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
2) Jenis Pithecanthropus
Jenis manusia ini didasarkan pada penelitian
Eugene Dubois tahun 1890 di dekat Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan
Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia,
tetapi masih terlihat tanda-tanda kera. Oleh karena itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya manusia
kera yang berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga
disebut Pithecanthropus mojokertensis.
Jenis manusia purba yang juga
terkenal sebagai rumpun Homo erectus ini paling banyak ditemukan di
Indonesia. Diperkirakan jenis manusia
purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.
3) Jenis Homo
Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von
Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama
kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis manusia Homo
ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi juga masih menonjol,
sekalipun tidak semenonjol jenis Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tidak jauh
berbeda dengan manusia sekarang. Hidup dan perkembangan jenis manusia ini
sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu. Tempat-tempat penyebarannya tidak
hanya di Kepulauan Indonesia tetapi juga di Filipina dan cina Selatan Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’
baik dari segi fisik, volume otak
maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan manusia
modern. Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan ‘manusia
bijak’ karena telah lebih maju dalam
berpikir dan menyiasati tantangan alam. Bagaimanakah mereka muncul ke bumi
pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia
hingga saat ini? Para ahli paleoanthropologi dapat melukiskan perbedaan
morfologis antara Homo sapiens dengan
pendahulunya, Homo erectus. Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya
dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya karena tulang
belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo
erectus.
Hal ini mengindikasikan bahwa
secara fisik Homo sapiens jauh lebih
lemah dibanding sang pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis
maupun biometriks Homo sapiens
menunjukkan karakter yang lebih berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan
Homo erectus. Sebagai misal, karakter evolutif yang paling signifikan adalah bertambahnya kapasitas otak. Homo sapiens mempunyai kapasitas otak
yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yang jauh
lebih bundar dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang mempunyai tengkorak panjang dan rendah, dengan
kapasitas otak 1.000 cc.
Segi-segi
morfologis dan tingkatan kepurbaannya menunjukkan ada perbedaan yang sangat
nyata antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut. Homo sapiens akhirnya tampil sebagai spesies yang sangat tangguh
dalam beradaptasi dengan lingkungannya, dan dengan cepat menghuni berbagai
permukaan dunia ini.
Berdasarkan
bukti-bukti penemuan, sejauh ini manusia modern awal di Kepulauan Indonesia dan
Asia Tenggara paling tidak telah hadir sejak 45.000 tahun yang lalu. Dalam
perkembangannya, kehidupan manusia modern ini dapat dikelompokkan dalam tiga
tahap, yaitu (i) kehidupan manusia modern awal yang kehadirannya hingga akhir
zaman es (sekitar 12.000 tahun lalu), kemudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan
manusia modern yang lebih belakangan, dan berdasarkan karakter fisiknya dikenal
sebagai ras Austromelanesoid. (iii) mulai di sekitar 4000 tahun lalu muncul
penghuni baru di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa
Austronesia. Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk manusia ini tergolong dalam
ras Mongolid.
Beberapa
spesimen (penggolongan) manusia Homo
sapiens dapat dikelompokkan sebagai berikut,
a.
Manusia Wajak
Manusia Wajak (Homo wajakensis)
merupakan satu-satunya temuan di Indonesia yang untuk sementara dapat
disejajarkan perkembangannya dengan manusia modern awal dari akhir Kala
Pleistosen. Pada tahun 1889, manusia Wajak ditemukan oleh B.D. van Rietschoten
di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat laut Campurdarat, dekat
Tulungagung, Jawa Timur. Sartono Kartodirjo (dkk) menguraikan tentang temuan
itu, berupa tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas
leher. Temuan Wajak itu adalah Homo
sapiens. Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya
menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur kening
nyata. Tengkorak ini diperkirakan milik seorang perempuan berumur 30 tahun dan mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak kedua ditemukan
oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yang sama. Temuan berupa
fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah, serta tulang
paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga busur kening yang
nyata. Pada tengkorak laki-laki perlekatan otot sangat nyata. Langit-langit
juga dalam. Rahang bawah besar dengan gigi-gigi yang besar pula. Kalau menutup
gigi muka atas mengenai gigi muka bawah. Dari tulang pahanya dapat diketahui
bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar.
Wajak sudah termasuk Homo sapiens,
jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak
mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid. Diperkirakan dari
manusia Wajak inilah sub-ras Melayu Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi
ras Austromelanesoid sekarang. Hal itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya
yang sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap
tengkoraknya dari muka ke belakang. Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh karena
sangat datar dan pipinya sangat menonjol ke samping. Beberapa ciri lain juga
memperlihatkan ciri-ciri ke dua ras di atas.
Temuan Wajak menunjukkan pada
kita bahwa sekitar 40.000 tahun yang lalu Indonesia sudah
didiami oleh Homo sapiens yang rasnya sukar dicocokkan
dengan ras-ras pokok yang terdapat
sekarang, sehingga manusia Wajak dapat dianggap sebagai suatu ras tersendiri.
Manusia Wajak tidak langsung berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin
tahapan Homo neanderthalensis yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dari neanderthalensis di
tempat Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yang mungkin berevolusi ke
arah Homo yang ditemukan di Indonesia.
Manusia
Wajak itu tidak hanya mendiami Kepulauan Indonesia bagian Barat saja, akan
tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia bagian Timur. Ras Wajak ini
merupakan penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras
yang kemudian kita kenal sekarang. Melihat
ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih dekat dengan sub-ras
Melayu-Indonesia. Hubungannya dengan ras Australoid dan Melanesoid sekarang
lebih jauh, oleh karena kedua sub-ras ini baru mencapai bentuknya yang sekarang
di tempatnya yang baru. tetapi memang mungkin juga bahwa ras Austromelanesoid
yang dahulu berasal dari ras Wajak
b. Manusia
Liang Bua
Pengumuman tentang penemuan
manusia Homo floresiensis tahun
2004 menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Sisa-sisa manusia ditemukan di
sebuah gua Liang Bua oleh tim peneliti gabungan
Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman di Flores. Liang Bua bila
diartikan secara harfiah merupakan sebuah gua yang dingin. Sebuah gua yang
sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang datar, merupakan tempat
bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa pra-aksara. Hal itu bisa dilihat
dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang berada di sekitar
bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya. Liang Bua merupakan sebuah
temuan manusia modern awal dari akhir masa Pleistosen di Indonesia yang
menakjubkan yang diharapkan dapat menyibak asal usul manusia di Kepulauan
Indonesia.
Manusia
Liang Bua ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood
bersama-sama dengan Tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada bulan
September 2003 lalu. Temuan itu dianggap sebagai penemuan spesies baru
yang kemudian diberi nama Homo
floresiensis, sesuai dengan tempat ditemukannya fosil Manusia Liang Bua.
Pada tahun 1950-an,
sebenarnya Manusia Liang Bua telah memberikan data-data tentang adanya
kehidupan pra-aksara. Saat Th. Verhoeven lebih dahulu menemukan beberapa
fragmen tulang manusia di Liang Bua, ia menemukan tulang iga yang berasosiasi
dengan berbagai alat serpih dan gerabah. Tahun 1965, ditemukan tujuh buah
rangka manusia beserta beberapa bekal kubur yang antara lain berupa beliung dan
barang-barang gerabah. Diperkirakan Liang Bua merupakan sebuah situs neolitik
dan paleometalik. Manusia Liang Bua mempunyai ciri tengkorak
yang panjang dan rendah, berukuran kecil, dengan volume otak 380 cc. Kapasitas
kranial tersebut berada jauh di bawah Homo
erectus (1.000 cc), manusia modern Homo sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada di bawah volume otak
simpanse (450 cc).
Pada
tahun 1970, R.P Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan
penelitian beberapa kerangka manusia yang ditemukan di lapisan atas, temuan itu
sebanding dengan temuan-temuan rangka manusia sebelumnya. Hasil temuan itu
menunjukkan bahwa Manusia Liang Bua secara kronologis menunjukkan hunian dari
fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, dan
Paleolitik. Menurut Teuku Jacob, Manusia
Liang Bua secara kultural berada dalam konteks zaman Mesolitik, dengan ciri
Australomelanesid, yaitu bentuk tengkorak yang memanjang. Tahun 2003
diadakan penggalian oleh R.P. Soejono dan Mike J. Morwood, bekerjasama antara
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan University of New England,
Australia. Penggalian itu menghasilkan temuan berupa sisa manusia tidak kurang
dari enam individu yang menunjukkan aspek morfologis dan postur yang sejenis
dengan Liang Bua 1, yang mempunyai kesamaan dengan alat-alat batu dan sisa-sisa
binatang komodo dan spesies kerdil gajah purba jenis stegodon. Temuan itu
sempat menjadi bahan perdebatan mengenai status taksonominua, benarkah Manusia
Liang Bua itu termasuk dalam spesies baru, yaitu Homo florensiensis, atau sebagai satu jenis spesies yang telah ada di kalangan genus Homo?
Dalam
pengamatan yang lebih mendalam terhadap manusia Flores itu, ternyata ada
percampuran antara karakter kranial yang cukup menonjol antara karakter Homo erectus dan Homo sapiens. Seluruh karakter kranio-fasial dari Manusia Liang Bua
1 (LB1) dan Liang Bua 6 (LB6) menunjukkan dominasi karakter arkaik yang sering
ditemukan pada Homo erectus, walaupun
beberapa aspek modern Homo sapiens juga
sangat terlihat jelas. Namun demikian, karakter Homo sapiens hendaknya dilihat sebagai atribut tingkatan evolusi dalam spesies ini. Bila dikaitkan
dengan masa hidup Manusia Liang Bua sekitar 18.000 tahun yang lalu, maka LB 1
dan LB 6 seharusnya dipandang sebagai satu dari variasi Homo sapiens.
3.
Perdebatan Antara Pithecantropus ke Homo Erectus
Penemuanfosil fosil
Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dengan teori evolusi manusia yang
dituliskan oleh Charles Darwin. Harry Widiyanto menuliskan perdebatan itu
seperti berikut. Fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan pada
tahun 1894 dalam
berbagai majalah ilmiah melahirkan perdebatan. Dalam publikasinya itu Dubois
menyatakan bahwa, menurut teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus adalah peralihan kera ke manusia. Kera
merupakan moyang manusia. Pernyatakan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan,
apakah benar atap tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi berukuran besar, dan
tulang paha yang berciri modern itu berasal dari satu individu? Sementara orang
menduga bahwa tengkorak tersebut merupakan tengkorak seekor gibon, gigi-gigi
merupakan milik Pongo sp., dan tulang pahanya milik manusia modern? Lima puluh
tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dari gigi Pongo
Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang berukuran besar, akar gigi yang kuat dan
terbuka, dentikulasi yang tidak individual, dan permukaan occulsal yang sangat
berkerut-kerut.
Perdebatan
itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan penemuan
tersebut dalam seminar internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden,
Belanda, dan dalam pameran publik British
Zoology Society di London. Setelah seminar dan pameran itu banyak ahli yang
tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan semua
hasil temuannya itu, hingga pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh
Franz Weidenreich. Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian
ilmu paleoantropologi telah lahir di Indonesia.
Tahun 1920-an merupakan
periode yang luar biasa bagi teori evolusi manusia. Teori itu terus menjadi
perdebatan, para ahli paleontologi berbicara tentang ontogenesa dan
heterokronis. Seorang teman Dubois, Bolk melakukan formulasi
teori foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois telah melakukan penemuan fosil missing-link. Sementara Bolk menemukan
modalitas evolusi dengan menafsirkan
bahwa peralihan dari kera ke manusia terjadi melalui perpanjangan perkembangan
fetus. Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang
sangat terkenal, bahwa filogenesa dan ontogenesa sama sekali tidak dapat
dipisahkan. Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar sejak tahun 1927.
Penemuan situs Zhoukoudian di dekat Beijing, menghasilkan sejumlah besar
fosil-fosil manusia, yang diberi nama Sinanthropus
pekinensis. Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha tersebut
menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus
erectus. Seorang ahli biologi menyatakan bahwa standar
zoologis tidak dimungkinkan memisahkan Pithecantropus
erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda
dengan manusia modern. Pithecanthropus
adalah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah perbedaan itu hanya perbedaan
species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus harus diletakan dalam genus Homo, dan untuk
mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo
erectus. Maka berakhirlah debat panjang mengenai Pithecanthropus dari
Dubois dalam sejarah perkembangan manusia yang berjalan puluhan tahun. Saat ini
Pithecanthropus diterima sebagai hominid dari Jawa, bagian dari Homo erectus