Situs
Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya
dunia, Sangiran telah menjadi sentral bagi kehidupan manusia purba. Dari
Sangiran kita mengenal beberapa jenis manusia purba di Indonesia.
1.
Sangiran
Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan
bahwa Sangiran merupakan sebuah
kompleks situs manusia purba dari Kala Pleistosen yang paling lengkap dan
paling penting di Indonesia, dan bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat
perkembangan manusia dunia, yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia
sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs
Sangiran itu mempunyai luas delapan kilometer pada arah
utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat. Situs Sangiran
merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar di pusat
kubah akibat adanya erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa itu
diwarnai dengan perbukitan yang bergelombang. Kondisi
deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batuan yang
mengandung fosil-fosil manusia purba dan binatang, termasuk artefak.
Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan
pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada musim
kemarau.
Sangiran pertama
kali ditemukan dan
diteliti penemuan fosil vertebrata
dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seolah- olah terlupakan dalam waktu yang
lama. Eugene Dubois juga pernah datang ke Sangiran akan tetapi
ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di
wilayah Sangiran. Pada 1934,
Gustav Heindrich Ralph von
Koeningswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang terletak sekitar
dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran
semenjak penemuan von Koenings wald, situs sangiran menjadi sangat terkenal
berkaitan dengan penemuan penemuan fosil Homo Erectus secara sporadis dan
bersinambungan homo erectus adalah takson paling penting dalam sejarah manusia
sebelum masuk pada tahap homo sapiens,
manusia moderen. fosil Homo
erectus yang terbaik di Sangiran. Ia
ditemukan di endapan pasir
fluvio-volkanik di Pucang, bagian wilayah Sangiran. Fosil itu merupakan dua di
antara Homo erectus di dunia yang
masih lengkap dengan mukanya. Satu ditemukan di Sangiran dan satu lagi di
Afrika.
2.
Trinil, ngawi, jawa timur
Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois mengawali temuan Pithecantropus
erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di daerah
Pilangkenceng, Madiun, Jawa Timur. Desa itu berada tepat di tengah hutan
jati di lereng selatan Pegunungan Kendeng. Pada saat Dubois meneliti dua
horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus ditemukan sebuah fragmen rahang yang
pendek dan sangat kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa.
Prageraham itu menunjukkan ciri gigi manusia bukan gigi kera,
sehingga diyakini bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang hominid.
Pithecantropus itu kemudian dikenal dengan Pithecantropus A. Trinil adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah
administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah
lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum von Koeningswald menemukan
Sangiran pada 1934. Ekskavasi yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil telah
membawa penemuan sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan.
Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo. Dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan beberapa
buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah berjalan
tegak.
Tengkorak Pithecanthropus
erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak
manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di
bagian belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak
yang belum berkembang. Pada bagian belakang kepala terlihat bentuk yang
meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya
sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah mencapai
usia dewasa.
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan
manusia purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur;
Ngandong, Blora, Jawa Tengah; dan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Temuan
berupa tengkorak anak-anak berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang
membantu penelitian Koeningswald dan Duyfjes perlu untuk dipertimbangkan. Temuan
itu menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para ilmuwan. Metode pengujian
penanggalan potasium-argon yang digunakan oleh Tengku Jakob dan Curtis terhadap
batu apung yang terdapat disekitar fosil tengkorak itu menunjukkan angka 1,9
atau kurang lebih 0,4 juta tahun. Pengujian juga dilakukan dengan mengambil
sampel endapan batu apung dari dalam tengkorak dan menunjukkan angka 1,81 juta
tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan tersebut menjadi perdebatan para ahli
dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.
Bila penanggalan itu benar, maka tengkorak anak
Homo erectus dari Perning, Mojokerto ini merupakan individu Homo erectus tertua di Indonesia. Adakah diantara kamu yang
tertarik untuk melakukan pengujian ini?
Temuan Homo
erectus juga ditemukan di Ngandong, yaitu sebuah desa di tepian Bengawan
Solo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan volume otak rata-rata
1.100 cc. Ciri-ciri ini menunjukkan Homo
erectus ini lebih maju bila dibandingkan dengan Homo erectus yang ada di Sangiran. Manusia Ngandong diperkirakan berumur antara 300.000-100.000 tahun.
1) Jenis Meganthropus
Jenis manusia purba ini terutama berdasarkan
penelitian von Koeningswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil
rahang manusia yang berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para
ahli menamakan jenis manusia ini dengan sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa.
Jenis manusia purba ini memiliki ciri rahang yang kuat dan badannya tegap.
Diperkirakan makanan jenis manusia ini adalah tumbuh-tumbuhan. Masa hidupnya
diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
2) Jenis Pithecanthropus
Jenis manusia ini didasarkan pada penelitian
Eugene Dubois tahun 1890 di dekat Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan
Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia,
tetapi masih terlihat tanda-tanda kera. Oleh karena itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya manusia
kera yang berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga
disebut Pithecanthropus mojokertensis.
Jenis manusia purba yang juga
terkenal sebagai rumpun Homo erectus ini paling banyak ditemukan di
Indonesia. Diperkirakan jenis manusia
purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.
3) Jenis Homo
Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von
Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama
kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis manusia Homo
ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi juga masih menonjol,
sekalipun tidak semenonjol jenis Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tidak jauh
berbeda dengan manusia sekarang. Hidup dan perkembangan jenis manusia ini
sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu. Tempat-tempat penyebarannya tidak
hanya di Kepulauan Indonesia tetapi juga di Filipina dan cina Selatan Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’
baik dari segi fisik, volume otak
maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan manusia
modern. Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan ‘manusia
bijak’ karena telah lebih maju dalam
berpikir dan menyiasati tantangan alam. Bagaimanakah mereka muncul ke bumi
pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia
hingga saat ini? Para ahli paleoanthropologi dapat melukiskan perbedaan
morfologis antara Homo sapiens dengan
pendahulunya, Homo erectus. Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya
dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya karena tulang
belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo
erectus.
Hal ini mengindikasikan bahwa
secara fisik Homo sapiens jauh lebih
lemah dibanding sang pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis
maupun biometriks Homo sapiens
menunjukkan karakter yang lebih berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan
Homo erectus. Sebagai misal, karakter evolutif yang paling signifikan adalah bertambahnya kapasitas otak. Homo sapiens mempunyai kapasitas otak
yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yang jauh
lebih bundar dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang mempunyai tengkorak panjang dan rendah, dengan
kapasitas otak 1.000 cc.
Segi-segi
morfologis dan tingkatan kepurbaannya menunjukkan ada perbedaan yang sangat
nyata antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut. Homo sapiens akhirnya tampil sebagai spesies yang sangat tangguh
dalam beradaptasi dengan lingkungannya, dan dengan cepat menghuni berbagai
permukaan dunia ini.
Berdasarkan
bukti-bukti penemuan, sejauh ini manusia modern awal di Kepulauan Indonesia dan
Asia Tenggara paling tidak telah hadir sejak 45.000 tahun yang lalu. Dalam
perkembangannya, kehidupan manusia modern ini dapat dikelompokkan dalam tiga
tahap, yaitu (i) kehidupan manusia modern awal yang kehadirannya hingga akhir
zaman es (sekitar 12.000 tahun lalu), kemudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan
manusia modern yang lebih belakangan, dan berdasarkan karakter fisiknya dikenal
sebagai ras Austromelanesoid. (iii) mulai di sekitar 4000 tahun lalu muncul
penghuni baru di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa
Austronesia. Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk manusia ini tergolong dalam
ras Mongolid.
Beberapa
spesimen (penggolongan) manusia Homo
sapiens dapat dikelompokkan sebagai berikut,
a.
Manusia Wajak
Manusia Wajak (Homo wajakensis)
merupakan satu-satunya temuan di Indonesia yang untuk sementara dapat
disejajarkan perkembangannya dengan manusia modern awal dari akhir Kala
Pleistosen. Pada tahun 1889, manusia Wajak ditemukan oleh B.D. van Rietschoten
di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat laut Campurdarat, dekat
Tulungagung, Jawa Timur. Sartono Kartodirjo (dkk) menguraikan tentang temuan
itu, berupa tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas
leher. Temuan Wajak itu adalah Homo
sapiens. Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya
menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur kening
nyata. Tengkorak ini diperkirakan milik seorang perempuan berumur 30 tahun dan mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak kedua ditemukan
oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yang sama. Temuan berupa
fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah, serta tulang
paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga busur kening yang
nyata. Pada tengkorak laki-laki perlekatan otot sangat nyata. Langit-langit
juga dalam. Rahang bawah besar dengan gigi-gigi yang besar pula. Kalau menutup
gigi muka atas mengenai gigi muka bawah. Dari tulang pahanya dapat diketahui
bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar.
Wajak sudah termasuk Homo sapiens,
jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak
mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid. Diperkirakan dari
manusia Wajak inilah sub-ras Melayu Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi
ras Austromelanesoid sekarang. Hal itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya
yang sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap
tengkoraknya dari muka ke belakang. Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh karena
sangat datar dan pipinya sangat menonjol ke samping. Beberapa ciri lain juga
memperlihatkan ciri-ciri ke dua ras di atas.
Temuan Wajak menunjukkan pada
kita bahwa sekitar 40.000 tahun yang lalu Indonesia sudah
didiami oleh Homo sapiens yang rasnya sukar dicocokkan
dengan ras-ras pokok yang terdapat
sekarang, sehingga manusia Wajak dapat dianggap sebagai suatu ras tersendiri.
Manusia Wajak tidak langsung berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin
tahapan Homo neanderthalensis yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dari neanderthalensis di
tempat Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yang mungkin berevolusi ke
arah Homo yang ditemukan di Indonesia.
Manusia
Wajak itu tidak hanya mendiami Kepulauan Indonesia bagian Barat saja, akan
tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia bagian Timur. Ras Wajak ini
merupakan penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras
yang kemudian kita kenal sekarang. Melihat
ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih dekat dengan sub-ras
Melayu-Indonesia. Hubungannya dengan ras Australoid dan Melanesoid sekarang
lebih jauh, oleh karena kedua sub-ras ini baru mencapai bentuknya yang sekarang
di tempatnya yang baru. tetapi memang mungkin juga bahwa ras Austromelanesoid
yang dahulu berasal dari ras Wajak
b. Manusia
Liang Bua
Pengumuman tentang penemuan
manusia Homo floresiensis tahun
2004 menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Sisa-sisa manusia ditemukan di
sebuah gua Liang Bua oleh tim peneliti gabungan
Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman di Flores. Liang Bua bila
diartikan secara harfiah merupakan sebuah gua yang dingin. Sebuah gua yang
sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang datar, merupakan tempat
bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa pra-aksara. Hal itu bisa dilihat
dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang berada di sekitar
bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya. Liang Bua merupakan sebuah
temuan manusia modern awal dari akhir masa Pleistosen di Indonesia yang
menakjubkan yang diharapkan dapat menyibak asal usul manusia di Kepulauan
Indonesia.
Manusia
Liang Bua ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood
bersama-sama dengan Tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada bulan
September 2003 lalu. Temuan itu dianggap sebagai penemuan spesies baru
yang kemudian diberi nama Homo
floresiensis, sesuai dengan tempat ditemukannya fosil Manusia Liang Bua.
Pada tahun 1950-an,
sebenarnya Manusia Liang Bua telah memberikan data-data tentang adanya
kehidupan pra-aksara. Saat Th. Verhoeven lebih dahulu menemukan beberapa
fragmen tulang manusia di Liang Bua, ia menemukan tulang iga yang berasosiasi
dengan berbagai alat serpih dan gerabah. Tahun 1965, ditemukan tujuh buah
rangka manusia beserta beberapa bekal kubur yang antara lain berupa beliung dan
barang-barang gerabah. Diperkirakan Liang Bua merupakan sebuah situs neolitik
dan paleometalik. Manusia Liang Bua mempunyai ciri tengkorak
yang panjang dan rendah, berukuran kecil, dengan volume otak 380 cc. Kapasitas
kranial tersebut berada jauh di bawah Homo
erectus (1.000 cc), manusia modern Homo sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada di bawah volume otak
simpanse (450 cc).
Pada
tahun 1970, R.P Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan
penelitian beberapa kerangka manusia yang ditemukan di lapisan atas, temuan itu
sebanding dengan temuan-temuan rangka manusia sebelumnya. Hasil temuan itu
menunjukkan bahwa Manusia Liang Bua secara kronologis menunjukkan hunian dari
fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, dan
Paleolitik. Menurut Teuku Jacob, Manusia
Liang Bua secara kultural berada dalam konteks zaman Mesolitik, dengan ciri
Australomelanesid, yaitu bentuk tengkorak yang memanjang. Tahun 2003
diadakan penggalian oleh R.P. Soejono dan Mike J. Morwood, bekerjasama antara
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan University of New England,
Australia. Penggalian itu menghasilkan temuan berupa sisa manusia tidak kurang
dari enam individu yang menunjukkan aspek morfologis dan postur yang sejenis
dengan Liang Bua 1, yang mempunyai kesamaan dengan alat-alat batu dan sisa-sisa
binatang komodo dan spesies kerdil gajah purba jenis stegodon. Temuan itu
sempat menjadi bahan perdebatan mengenai status taksonominua, benarkah Manusia
Liang Bua itu termasuk dalam spesies baru, yaitu Homo florensiensis, atau sebagai satu jenis spesies yang telah ada di kalangan genus Homo?
Dalam
pengamatan yang lebih mendalam terhadap manusia Flores itu, ternyata ada
percampuran antara karakter kranial yang cukup menonjol antara karakter Homo erectus dan Homo sapiens. Seluruh karakter kranio-fasial dari Manusia Liang Bua
1 (LB1) dan Liang Bua 6 (LB6) menunjukkan dominasi karakter arkaik yang sering
ditemukan pada Homo erectus, walaupun
beberapa aspek modern Homo sapiens juga
sangat terlihat jelas. Namun demikian, karakter Homo sapiens hendaknya dilihat sebagai atribut tingkatan evolusi dalam spesies ini. Bila dikaitkan
dengan masa hidup Manusia Liang Bua sekitar 18.000 tahun yang lalu, maka LB 1
dan LB 6 seharusnya dipandang sebagai satu dari variasi Homo sapiens.
3.
Perdebatan Antara Pithecantropus ke Homo Erectus
Penemuanfosil fosil
Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dengan teori evolusi manusia yang
dituliskan oleh Charles Darwin. Harry Widiyanto menuliskan perdebatan itu
seperti berikut. Fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan pada
tahun 1894 dalam
berbagai majalah ilmiah melahirkan perdebatan. Dalam publikasinya itu Dubois
menyatakan bahwa, menurut teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus adalah peralihan kera ke manusia. Kera
merupakan moyang manusia. Pernyatakan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan,
apakah benar atap tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi berukuran besar, dan
tulang paha yang berciri modern itu berasal dari satu individu? Sementara orang
menduga bahwa tengkorak tersebut merupakan tengkorak seekor gibon, gigi-gigi
merupakan milik Pongo sp., dan tulang pahanya milik manusia modern? Lima puluh
tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dari gigi Pongo
Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang berukuran besar, akar gigi yang kuat dan
terbuka, dentikulasi yang tidak individual, dan permukaan occulsal yang sangat
berkerut-kerut.
Perdebatan
itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan penemuan
tersebut dalam seminar internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden,
Belanda, dan dalam pameran publik British
Zoology Society di London. Setelah seminar dan pameran itu banyak ahli yang
tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan semua
hasil temuannya itu, hingga pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh
Franz Weidenreich. Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian
ilmu paleoantropologi telah lahir di Indonesia.
Tahun 1920-an merupakan
periode yang luar biasa bagi teori evolusi manusia. Teori itu terus menjadi
perdebatan, para ahli paleontologi berbicara tentang ontogenesa dan
heterokronis. Seorang teman Dubois, Bolk melakukan formulasi
teori foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois telah melakukan penemuan fosil missing-link. Sementara Bolk menemukan
modalitas evolusi dengan menafsirkan
bahwa peralihan dari kera ke manusia terjadi melalui perpanjangan perkembangan
fetus. Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang
sangat terkenal, bahwa filogenesa dan ontogenesa sama sekali tidak dapat
dipisahkan. Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar sejak tahun 1927.
Penemuan situs Zhoukoudian di dekat Beijing, menghasilkan sejumlah besar
fosil-fosil manusia, yang diberi nama Sinanthropus
pekinensis. Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha tersebut
menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus
erectus. Seorang ahli biologi menyatakan bahwa standar
zoologis tidak dimungkinkan memisahkan Pithecantropus
erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda
dengan manusia modern. Pithecanthropus
adalah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah perbedaan itu hanya perbedaan
species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus harus diletakan dalam genus Homo, dan untuk
mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo
erectus. Maka berakhirlah debat panjang mengenai Pithecanthropus dari
Dubois dalam sejarah perkembangan manusia yang berjalan puluhan tahun. Saat ini
Pithecanthropus diterima sebagai hominid dari Jawa, bagian dari Homo erectus